Lanjutan dari.... "DAUR ULANG MILITAN-MILITAN DI INDONESIA (8)"
Diterjemahkan oleh StuyCycle.NET dari Asia Report N°92 - 22 Februari 2005
Untuk koleksi Perpustakaan Online StudyCycle.NET
A. PERSIAPAN AKSI MILITER
Setelah pertemuan Mahoni, struktur militer DI jadi lebih halus. Jawa dibagi menjadi tiga divisi 28. Pada waktu yang sama, dua orang baru, Ateng Djaelani Setiawan dan Zaenal Abidin, dibawa ke Dewan Imamah, nampaknya atas inisiatif Danu Muhamad Hassan. Anggota DI-Jawa Tengah memprotes: ada dua orang yang bukan hanya menyerah kepada militer pada tahun 1961 sebelum kekalahan mereka yang terakhir, melainkan juga mereka berdua turut ambil bagian dalam operasi jaring militer untuk memburu pejuang DI lainnya.
Dalam pembelaan diri mereka, Danu berkata, “Setiap orang membuat kesalahan dan harus bertobat dari kesalahan-kesalahan itu. Jika seseorang telah mengkhianati jihad, bentuk terbaik pertobatan itu adalah berjihad” 29. Pandangan mengenai cara untuk bertobat dari dosa-dosa masa lalu ini berlaku hingga hari ini: hal ini menjelaskan mengapa permusuhan dalam faksi militan gerakan ini jarang mengakibatkan pengusiran atau pembunuhan, dan hal ini memberikan petunjuk bagaimana pergerakan ini dapat terbagi, membentuk grup baru lagi, terbagi lagi, demikian seterusnya. Sedikit rekonsiliasi yang permanen, tetapi hanya sedikit pula perpecahan yang final - selama masih ada jihad untuk mereka berjuang.
Bagaimanapun juga, kasus ini tidak mengakibatkan salah satu dari beberapa perpecahan abadi dalam DI. Orang-orang yang keberatan dengan pengangkatan dua anggota baru dengan masa lalu yang meragukan itu juga merupakan orang-orang yang telah menolak dana BAKIN, dan mereka memutuskan untuk berpisah dengan seluruh organisasi. Oleh karena itu, pada suatu waktu pada tahun 1975, di Kecamatan Limbangan, Garut, Djaja Sudjadi, Kadar Solihat, dan sejumlah orang yang tidak sepakat mengumumkan pembentukan sebuah sayap non-kekerasan Darul Islam, yang dikenal sebagai fillah (karena Allah) sebagai lawan fisabilillah (mengikuti jalan Allah untuk jihad). Sejak saat itu, sayap fillah mengabdikan diri pada kegiatan pendidikan dan kesejahteraan sosial, sementara sayap Fisabilillah ditujukan untuk aksi militer.
Keputusan untuk membentuk Komando Jihad keluar dari rapat pada awal 1976 antara Gaos Taufik dan Danu Muhammad Hassan untuk memulai revolusi. Rupanya ide itu akan dimulai di Sumatra, "seperti api pemantik", lalu menyapu seluruh Jawa Barat. Hal ini diserahkan kepada Gaos Taufik untuk merencanakan kampanye militer.
Latar belakang Gaos Taufik sendiri dalam hal ini adalah relevan. Lahir di Garut pada tahun 1930, ia bergabung pada tahun 1947dengan Hizbullah, sebuah milisi Islam. Pada akhir tahun itu, ia bergabung dengan PADI (Pasukan Darul Islam). Pada tahun 1954 ia ditangkap oleh tentara di Sukabumi, Jawa Barat, dan secara paksa, dua tahun kemudian, ia pindah ke Rantau Perapat, Sumatera Utara, dengan sekitar 1.500 tahanan lain. Di sana ia mulai mengorganisasi ulama setempat, beberapa rekan transmigran, dan bahkan beberapa tentara Indonesia masuk ke dalam perlawanan anti-Sukarno. Pada tahun 1958 ia telah membentuk korps 350 orang, yaitu korps Operasi Sabang-Merauke, yang pada awalnya tanpa senjata, namun, menurut legenda DI, berhasil di kota mengendalikan Medan selama empat hari pada bulan Maret 1958 30. Ketika kekalahan oleh tentara sepertinya sudah pasti, Gaos mundur dan membalikkan pasukannya ke Daud Beureueh. Bagaimanapun juga, kecakapan militernya, bahkan untuk sesaat seperti itu, memberinya prestise yang besar, dan ia sebelumnya tidak memiliki pengalaman militer, baik di Jawa Barat maupun di Sumatera.
Langkah pertama Gaos dalam meluncurkan Komando Jihad (Komji) adalah mengadakan rapat strategi di Sukabumi pada awal 1976, di mana sebuah bendera dirancang - satu buah pedang pada latar belakang hitam dengan tulisan "Tidak ada Tuhan selain Allah" dalam bahasa Arab di bawahnya. Pada pertemuan ini ia memutuskan akan membuat sebuah unit pasukan khusus untuk kampanye militernya.
Dia kemudian mulai merekrut orang-orang yang dia kenal telah bergabung dengan DI pada awal dekade 1950-an dan juga mereka yang baru datang ke lingkaran DI Medan pada dekade 1970-an 31. Satu dari kalangan yang terakhir disebut itu adalah seorang ustadz (guru agama) berusia 24 tahun dari luar Larantuka, Flores, yang bernama Abdullah Umar. Dia dieksekusi oleh regu tembak pada tahun 1989. Abdullah Umar tidak hanya menjadi seorang tokoh penting dalam Komando Jihad dan Darul Islam, tapi juga dia pulalah yang membai'at ke dalam DI seorang pria yang menjadi kepala Mantiqi II JI, Abdullah Anshori alias Ibnu Thoyib alias Abu Fatih. Dia nyata-nyata memperkenalkan DI ke desa asalnya di Flores. Hal ini menghasilkan sejumlah pengikut dari sudut negeri yang tidak mungkin. Kelompok DI Flores masih aktif sampai hari ini 32.
Operasi-operasi Komando Jihad dimulai secara serentak di propinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Lampung. Di Sumatera Utara, serangan pertama datang pada bulan Mei 1976, sebuah granat yang tidak meledak diletakkan dalam MTQ yang disponsori oleh negara yang saat itu berlangsung di kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Hal ini diikuti oleh bom-bom pada bulan Oktober 1976 di Rumah Sakit Baptis Immanuel di Bukittinggi, Sumatra Barat dan di Masjid Nurul Iman di Padang 33. Operasi-operasi ini tidak menimbulkan korban serius dan dilakukan oleh pengikut Timsar Zubil (26) yang kemudian menjabat sebagai asisten pertama bagi komandan DI Sumatera Utara, Agus Sulaeman Lubis. Setelah beberapa pengeboman di Medan — termasuk pemboman Apollo Bar, bioskop Riang, dan gereja Methodis —, Timsar dan lain-lain (termasuk Gaos Taufik) ditangkap 34.
Pada persidangan tahun 1978, beberapa saksi bersaksi bahwa sebelum serangan-serangan tersebut, Timsar telah mengambil bagian dalam pelatihan pembuatan bom bersama dengan beberapa sepuluh orang lainnya di sebuah rumah di Jl. Kalibaru di daerah pelabuhan Tanjung Priok Jakarta pada tahun 1976. Rumah tersebut milik seorang mantan pejuang DI dari Sulawesi Selatan bernama Jabir, yang menikahi putri pemimpin DI Aceng Kurnia. Sekitar waktu yang sama, menurut jaksa, anggota DI lainnya, Ahmad Rifai, dikirim ke Kuala Lumpur untuk meminta senjata kepada kedutaan Libya. Rifai melaporkan Libya telah setuju dan senjata-senjata itu akan didrop dengan menggunakan kapal di sepanjang pantai Sumatra. Kemudian, setiap hari, orang-orang DI pergi ke pantai dengan teropong menunggu, tapi kapal tersebut tidak pernah datang 35.
Timsar diadili dan dihukum mati pada tahun 1979 tapi hukuman itu kemudian diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup dan ia dibebaskan pada tahun 1999. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2001, ia berkata bahwa ia dan anak buahnya pernah menggunakan enam granat sisa dari pemberontakan PRRI 1958 di Sumatra dan beberapa kilogram TNT dari Lampung. Dia mengatakan tujuannya adalah melemahkan kontrol militer Orde Baru Soeharto pemerintah melalui penerapan “ shock therapy ” (terapi kejut). Dia berkata bahwa dia menyadari setelah ia dipenjarakan bahwa menyerang tempat ibadah itu salah dan bahwa apa yang telah dilakukannya itu tidak sesuai dengan norma-norma keagamaan. Pada tahun 1982 (ketika ia masih resmi ditahan), ia mengunjungi masjid Nurul Iman di Padang dan dua gereja di Medan dan meminta maaf atas tindakannya 36.
Setelah penangkapan Timsar, Abdullah Umar melarikan diri ke Pondok Ngruki. Dia telah meninggalkan Medan pada tahun 1976 untuk kembali ke keluarganya di Flores. Dia nantinya mencoba lagi untuk kembali pada tahun yang sama, tapi dia terhenti di sebuah pos pemeriksaan di luar Palembang, Sumatera Selatan, di mana dua rekan seperjalananku ditangkap, rupanya dalam kaitannya dengan kegiatan Komando Jihad. Dia segera kembali ke Flores dan masih ada di sana selama negara mempersiapkan pemilu tahun 1977. Setelah membaca laporan surat kabar tentang penangkapan Timsar Zubil dan lain-lain di Medan, maka ia memutuskan, akan lebih bijaksana untuk pergi karena ia mungkin berada pada daftar pencarian orang. Dia menginap di Pondok Ngruki karena ia dan Abu Bakar Ba'asyir, juga beberapa guru Ngruki lainnya, sama-sama satu almamater: Pondok Pesantren Gontor di Jawa Timur, sebuah pondok pesantren yang terkenal dengan pola pengajarannya yang progresif 37. (Bersambung)
Catatan kaki
28 Divisi-divisi tersebut adalah sebagai berikut: Divisi I, Jawa Barat: Komandan I, Aceng Kurnia; Komandan II, Ules Sudjai; Komandan III, Mia Ibrahim, mencakup Priangan Timur; Komandan IV, Uci Nong, meliputi Banten dan Bogor. Divisi II, Jawa Tengah: Komandan I, Saiful Imam, untuk selatan; Komandan II, Sutiko Abdurahman untuk daerah Surakarta; Komandan III, Haji Faleh, untuk barat (Kudus); Komandan IV, Seno alias Basyar alias Abdul Hakim untuk daerah semarang. Divisi III, Komandan I, Hasan; Komandan II, Idris; Komandan III, untuk daerah Blitar, tidak segera terisi.
29 “M. Ridwan (Saksi Sejarah DI/ TII): NII Pernah Diminta Dukung Golkar”, Darul Islam, Vol.1 No.10, April-Mei 2001, hal.39.
30 Pengambilalihan Medan pada kenyataannya merupakan cerita jauh lebih rumit. Pemberontakan itu berlangsung selama pemberontakan yang pendek umur, yang berpusat di Sumatera Barat pada tahun 1958, dan yang memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Para pemimpin PRRI tidak memiliki latar belakang DI, tapi Operasi Sabang-Merauke merupakan salah satu contoh kerjasama DI-PRRI melawan musuh bersama.
31 Salah satu pengawal lama adalah Imam Baharuddin yang dibai'at masuk DI pada tahun 1951. Menurut para jaksa dalam sidang Timsar Zubil, Gaos Taufik menugasinya untuk melakukan kontak dengan para mantan anggota DI di Sumatera Utara, dan ia kemudian mengirimnya ke Palembang di Sumatra Selatan untuk menginformasikan mantan anggota DI di sana mengenai komando baru. "Bekas DI / TII Sumatera Suatu Bentuk Komando", Pikiran Rakyat, 26 Januari 1978
32 Pengadilan Negeri Sleman, Berkas Perkara Tersangka Abdullah Umar, Februari 1983.
33 Dalam pandangan mereka, masjid itu target sah jika masjid itu dibangun di atas premis-premis yang keliru atau bila masjid itu digunakan untuk memecah belah umat. Masjid seperti itu dikenal sebagai masjid dhiror.
34 “Akhirnya Timsar Bebas", Gatra, Vol.V, No.9, 16 Januari 1999, dan " Penerjun Itu Dihukum Mati,” Tempo, 18 Maret 1978.
35 Wawancara Crisis Group , November 2004. Pada persidangan Hispran pada tahun 1978, seorang saksi bersaksi bahwa Hispran telah memerintahkan kepadanya untuk mengawasi pantai selatan Jawa Timur untuk pengiriman senjata-senjata Libya datang dengan perahu. Tidak ada senjata yang juga tiba di sana. "Pecahnya Sesepuh DI", Tempo, 30 September 1978.
36 “Timsar Zubil: Saya Dipaksa Akui Komando Jihad,” Darul Islam, Vol.1, No.7, 15 Januari - 15 Februari 2001, hal. 28-29. Timsar menghadiri pertemuan pertama MMI pada tahun 2000.
37 Gontor juga menghasilkan empat pemimpin Muslim terkenal di Indonesia sekarang, yaitu: tokoh intelektual Nurcholish Madjid, pemikir moderat puritan; Din Syamsuddin, pemimpin Muhammadiyah, politisi, dan sekretaris Majelis Ulama Indonesia; Hasyim Muzadi, ketua Nahdlatul Ulama dan pasangan Megawati pada Pemilu tahun 2004; dan Hidayat Nur Wahid, ketua partai politik Islam PKS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar