Lanjutan dari.... "DAUR ULANG MILITAN-MILITAN DI INDONESIA (9)"
Diterjemahkan oleh StuyCycle.NET dari Asia Report N°92 - 22 Februari 2005
Untuk koleksi Perpustakaan Online StudyCycle.NET
B. KEMUNCULAN MUSA WARMAN.
Di Lampung dan Palembang, bintang operatifnya adalah Asep Warman alias Musa, penduduk asli Garut, Jawa Barat, yang telah berjuang dengan DI pada tahun-tahun awal DI, telah ditangkap, dan telah dipindahkan ke Lampung setelah pembebasannya. Ia aktif di sel DI di sana, di bawah kepemimpinan Pak Ujeng (kadang-kadang disebut sebagai Ujo) dan laki-laki lain yang terus aktif hari ini, Abdul Qadir Baraja 38.
Menurut laporan, Baraja memimpin operasi Komando Jihad Palembang tahun 1977 yang dirancang untuk memperoleh senjata bagi DI melalui penyerbuan kantor polisi. Komandan lapangannya adalah Sukri yang memimpin sepuluh orang. Akhirnya dia ditangkap dan dipenjarakan di Lampung. Dalam penjara Lampung itu, dia memimpin pemberontakan yang mengakibatkan pembebasan semua tahanan. Sebagian besar tahanan yang lepas dapat ditangkap kembali tetapi perbuatan berani itu menambah reputasi kelompok Lampung.
Warman, yang digambarkan oleh rekan-rekannya sebagai ahli strategi yang cemerlang, bersama-sama menarik militan lainnya yang berbasis Lampung dan memulai serangan untuk mendapatkan dana dan senjata. Sumber-sumber DI mengklaim ia melakukan enam belas penyerbuan seperti di Sumatera Selatan sebelum penangkapan Gaos Taufik mendorongnya untuk melarikan diri ke Jakarta pada tahun 1978 bersama dengan pejuang Lampung lainnya.
Di sana mereka diberikan tempat perlindungan di dalam sebuah pesantren bernama Misi Islam di daerah Tanjung Priok Jakarta. Kepala pesantren Abdullah Hanafi — seorang pria DI yang dikenal aneh interpretasi Islam. Putra Abdullah Hanafi yang bernama Hasyim telah menjadi pembantu utama Abu Bakar Ba'asyir dan mengatur janji ketemu untuk mereka yang ingin mengunjungi Abu Bakar Ba'asyir di penjara. Produk lain dari Misi Islam adalah Abu Dzar, ayah mertua Omar al-Faruk.
Jawa Barat seharusnya menjadi teater operasi DI yang berikutnya, tapi operasi DI gagal meledak di Jawa Barat, walaupun pemimpin DI lokal, Mang Aslah, telah merekrut dan melatih sekelompok orang. Mereka tidak akan mulai bertindak sampai 1979, diilhami oleh keberhasilan perampokan fa'i yang dilakukan Warman 39.
Sementara itu, Warman dan rekan-rekannya yang masih sempoyongan sebagai akibat dari penangkapan Gaos Taufik memutuskan bahwa Ali Moertopo berada di balik penangkapan itu dan bertekad untuk membunuhnya. Mereka mempelajari bahwa Ali Moertopo akan menghadiri suatu acara di Semarang, Jawa Tengah pada bulan Desember 1978 dan mereka bergerak dari Pondok Pesantren Misi Islam untuk mempersiapkan serangan. Entah karena alasan apa, rencana itu gagal, tapi Warman tetap pada rencana itu.
Dari bulan Januari 1979, ia dan Abdullah Umar menggabungkan kekuatan dan bersama-sama dengan para pemimpin DI dari Jawa Tengah, melancarkan serangan yang dikenal sebagai "Teror Warman". Pertama-tama mereka membunuh asisten rektor dari sebuah universitas yang menurut laporan memberikan informasi kepada polisi yang menyebabkan penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Kemudian, masih pada bulan Januari 1979, mereka membunuh orang lain yang informasinya mereka curigai menyebabkan penangkapan Abdul Qadir Baraja dan seorang anggota pasukan khusus, Farid Ghozali. Pada bulan Maret 1979, mereka melakukan sebuah perampokan fa'i terhadap Institut Islam Negeri Yogyakarta dan melakukan percobaan yang sama beberapa minggu kemudian di Malang, Jawa Timur, dengan menghadang kendaraan pembawa uang gaji untuk Institut Pelatihan Guru Negari 40.
Pendapatan dari perampokan-perampokan yang dilakukan oleh Warman dan tim Jawa Barat itu begitu tinggi sehingga kepemimpinan DI memutuskan untuk menggabungkan pasukan khusus ini ke dalam struktur reguler DI 41. Pada Juni 1979, mereka berada di bawah komando DI Jawa-Madura, lalu dikepalai oleh Ules Sudjai, kemudian ditransfer begitu saja ke KW 7, komando regional DI yang mencakup Garut dan Banten 42.
Abdullah Umar dan Warman tertangkap pada bulan April 1979. Warman melarikan diri dan selama dua tahun reputasinya mengkilap dengan menjadi pengumpulan dana DI yang paling utama melalui perampokan-perampokan fa'i. Dia bahkan melakukan perampokan kontrak untuk mendapatkan barang-barang konsumsi seperti televisi warna untuk pemimpin DI. Akhirnya dia terlacak dan dibunuh oleh tentara pada tanggal 23 Juli 1981 di Soreang Kolot, Bandung 43.
Kepemimpinan DI sangat ingin memastikan pendapatan fa'i terus berlangsung, sehingga Abdullah Sungkar ditugaskan untuk menemukan penggantian. Ia berpaling kepada preman-preman yang direkrut oleh para pengikutnya di daerah Condet Jakarta.
Sementara itu, permasalahan kepemimpinan muncul lagi. Pada tanggal 1 Mei 1978, militer Indonesia telah menculik Daud Beureueh dan diam-diam membawanya ke Jakarta, di mana ia muncul di bawah tahanan rumah. Ia jelas tidak mampu bertindak sebagai imam, apalagi KPSI. Kepemimpinan tampaknya terlantar lagi. Pada tahun yang sama, persaingan antara faksi-faksi fillah-Fisabilillah mencapai titik ketinggian yang baru ketika Adah Djaelani memerintahkan kepada dua orang anak buahnya untuk membunuh Djaja Sudjadi dan beberapa pengikutnya. (Bersambung)
Catatan kaki
38 wawancara Crisis Group , November 2003
39 Di antara mereka yang dilatih oleh Mang Aslah (terbunuh oleh granatnya sendiri), adalah Amir (Garut), Empon (Tasikmalaya), Dudu (Garut), Iyus (Garut), Itang (Garut), Bana (Ciwidey), dan Emeng Abdurahman ( Bandung), saat itu imam faksi DI dipimpin oleh almarhum Abdul Fatah Wirananggapati. Mereka bertanggung jawab atas perampokan toko emas "Sinar Jaya" di Tasikmalaya pada tanggal 9 April 1979; perampokan sebuah koperasi simpan pinjam di Kecamatan Sikijang, Majalengka, April 1980; perampokan gaji Dinas Pendidikan dan Kebudayaan lokal di kecamatan Banjarsari, Ciamis, 5 Mei 1980; dan perampokan toko emas di Subang pada tanggal 9 Juli 1980.
40 Laporan Singkat Crisis Group Asia N°20, Al-Qaeda di Asia Tenggara: Kasus “Jaringan Ngruki” di Indonesia, 8 Agustus 2002.
41 Sering terjadi bahwa para pemimpin atas hanya mengetahui tentang perampokan melalui surat kabar. Mereka kemudian akan menelepon pasukan khusus dan meminta bagian. Wawancara Crisis Group , November 2004.
42 Hasil fa'i juga berada di bawah kontrol Ules Sudjai dan mungkin, mau tidak mau, beberapa pemimpin DI mulai mengeluh tentang distribusi yang tidak adil. Toha Mahfudz yang kemudian menjadi kepala KW7, sangat kritis. Adah Djaelani sebagai imam memerintahkan koordinasi pasukan khusus dipindahkan dari komando Jawa-Madura ke Tahmid Basuki Rahmat yang kemudian menjadi kepala staf DI. Pada gilirannya, dia berpendapat lebih tepat untuk memiliki komandan militer sejati yang bertanggung jawab — seperti Toha Mahfudz, ayah mertuanya. Toha mengambil alih, dan hubungan antara dirinya dan Ules Sudjai bertambah parah.
43 “Akhir Perburuan di Soreang”, Tempo, 1 Agustus 1981.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar