Lanjutan dari.... "DAUR ULANG MILITAN-MILITAN DI INDONESIA (18)"
Diterjemahkan oleh StuyCycle.NET dari Asia Report N°92 - 22 Februari 2005
Untuk koleksi Perpustakaan Online StudyCycle.NET
A. BROTO 'S GROUP
Karir dari empat orang berikut ini memberikan kepada kita beberapa gambaran mengenai betapa pentingnya kelompok ini untuk memahami sejarah JI yang berikutnya. Slamet Widodo ditangkap di Jakarta pada tahun 2003 karena telah menjadi bagian tim pasukan khusus JI yang berencana untuk meledakkan gedung-gedung dan aset-aset asing. Ahmad Sajuli berada dalam tahanan di Malaysia di bawah hukum Internal Security Act (ISA) karena kegiatan yang berkaitan dengan JI. Karsidi di penjara di Jawa Tengah karena bekerja dengan anggota Darul Islam menjual amunisi produksi tentara untuk digunakan di Ambon. Yoyok adalah pemimpin suatu kelompok di Jakarta, yang pada tahun 1999 menjadi pendiri organisasi AMIN. Beberapa anggota AMIN terlibat dalam kekerasan di Jakarta, Ambon, dan Poso.
Karsidi dan Yoyok tidak pernah menjadi anggota JI, tetapi tetap berhubungan dengan orang-orang JI. Karir orang-orang ini menyiratkan bahwa bagi siapa pun yang ingin memahami jaringan yang lebih luas di mana JI bergerak, sangatlah berguna untuk melihat orang-orang yang aktif di Condet yang tidak pergi ke Afghanistan, tetap setia kepada Ajengan Masduki, dan terus memainkan peran aktif dalam sayap Fisabilillah DI.
Slamet Widodo alias Pepen alias Urwah . Kesaksian dari Slamet Widodo yang ditahan pada tahun 2003 sebagai anggota unit pasukan khusus baru yang dilatih oleh unit militer Mantiqi II Jemaah Islamiyah, memberikan pengetahuan yang menarik mengenai kelompok Broto.
Pada tahun 1984, ketika ia masih berusia delapan belas tahun dan masih sekolah di suatu SMA di Jakarta Timur, Slamet bergabung dengan kelompok usroh di Cempaka Putih, Jakarta Timur, yang tampaknya telah menjadi bagian dari Ring Condet. Kelompok tersebut kebanyakan terdiri dari laki-laki yang usianya pertengahan 20-an dan cukup miskin (salah satunya sopir bajaj). Kelompok tersebut dipimpin oleh seorang laki-laki bernama Mubasir. Adik dan kakak ipar Mubasir juga bagian dari kelompok tersebut.
Pada tahun 1987, setelah peristiwa Ring Santa, Slamet bergabung dengan kelompok usroh lain di Sumur Batu, Jakarta, kali ini dipimpin oleh seorang pemuda bernama Jamal, seorang mahasiswa Universitas Tehnik Muhammadiyah. Selama interogasinya enam belas tahun kemudian, Slamet ingat nama-nama lima orang lain yang sering hadir, termasuk beberapa mahasiswa dan buruh, juga Broto yang waktu itu, menurut Slamet, berusia sekitar 35 tahunan.
Slamet menggunakan istilah usroh dan pengajian NII secara bergantian. Barulah pada saat ia menghadiri pengajian Sumur Batu pada tahun 1989, Broto menawari Slamet kesempatan untuk pergi ke Afghanistan, semua pengeluaran ditanggung 74. Dalam waktu hanya satu minggu, dia sudah punya paspor, dan pada minggu berikutnya ia sudah berada di dalam perjalanan melalui Malaysia.
Dia tinggal di sana selama dua tahun, bekerja sebentar di sebuah bengkel di Pakistan, dan kemudian kembali ke Malaysia, di mana ia terlibat dalam pembangunan pesantren Lukmanul Hakiem, basis JI di Johor. Ketika ia kembali ke Jakarta pada tahun 1993, ia mulai perdagangan barang elektronik bekas, dia terlibat dalam bisnis hingga penangkapannya. Beberapa saat setelah ia kembali, ia mulai menghadiri pertemuan-pertemuan keagamaan di Masjid Suprapto-Suparno, sebuah tempat berkumpul JI di Jakarta timur, tapi tampaknya dia hanya menjadi anggota JI aktif pada tahun 2000. Ini berarti bahwa setelah ia kembali ke Jakarta, saat ia telah punya kontak dengan sesama alumni Afghanistan dan Condet, ada waktu tujuh tahun sebelum ia dipanggil untuk setara dengan kembali ke tugas aktif.
Ahmad Sajuli. Seorang anggota JI lain yang memulai kariernya di Ring Condet dan yang ditahan sejak tahun 2001 di Malaysia di bawah ISA adalah Sajuli. Dia adalahseorang siswa sebuah SMA di awal usia 20-an di Kelapa Gading, Jakarta Utara, ketika ia mulai menghadiri diskusi agama di Masjid Arief Rahman Hakiem Universitas Indonesia dan Masjid Solihin di Tanjung Priok 75. Rupanya, melalui kontak di masjid-masjid tersebut, ia bertemu dengan Broto yang dalam tahun 1984 mengundangnya untuk ambil bagian dalam pertemuan Condet. Kata Sajuli, diskusi di Condet difokuskan pada Darul Islam, dan bagaimana Kartosoewirjo telah mengisi kekosongan politik ketika Soekarno kekurangan keteguhan hati yang diperlukan 76.
Pada tahun 1985, saya bergabung dengan sebuah pengajian yang akhirnya menyebut dirinya Darul Islam, di bawah kepemimpinan Ahmad Furzon alias Broto, Mahmudi, dan Aos Firdaus. Mereka semua tinggal di Tanjung Priok. Materi belajar kami adalah semua hal mengenai permasalahan ummat, akhlak, dan ibadah. Pada masa itu, kami tidak berbicara tentang jihad. Kami menghabiskan banyak waktu berbicara tentang kekayaan pejabat pemerintah.
Setiap orang yang menjadi anggota Darul Islam harus dibai'at dan bersumpah dulu sebelumnya. Saya dilantik oleh Ahmad Furzon alias Broto di rumahnya .... Seingat saya, ada delapan anggota Darul Islam di sana.
Pada tahun 1986, saya dan tiga belas orang lain yang diperintahkan oleh Broto untuk pergi ke Afghanistan. Mereka yang lain itu adalah Azam, Hasan Abdullah (menantu Abu Bakar Ba'asyir), Firdaus, Abdul Salam, Lukman, Saiful, Jahe, Abdul Hadi, Hisbullah, dan Musohan .... Saya kembali ke Indonesia pada tahun 1987. Pada tahun 1988 atau 1989, saya diundang oleh Hasan Abdullah untuk pindah ke Malaysia bersama dengan istri dan anak 77.
Karsidi alias Mansur alias Atang. Anggota kelompok Condet lainnya adalah Karsidi alias Mansur alias Atang Sutisna bin Sahidin. Sekarang (2005) berusia 42 tahun. Menurut laporan, dia dekat dengan para pendiri Condet. Menurut laporan, dia juga distributor ar-Risalah yang diedit oleh Irfan Awwas Suryahardy dari MMI.
Setelah kelompok Condet pecah, menurut laporan, Karsidi membentuk selnya sendiri, meskipun tidaklah jelas siapa yang ada di dalam sel itu atau apakah dia menganggap selnya itu bagian aktif DI. Menurut laporan, dia terlibat dalam pendirian AMIN. Saat ini, dia berada di penjara karena kasus pelanggaran hukum yang lain. Dalam suatu operasi, polisi menghentikan sebuah kendaraan pada tanggal 2 april 2003 di Banyumas, di dekat perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat dan menemukan 4.000 renteng amunisi yang dibuat oleh pabrik amunisi militer, PT PINDAD yang berada di Bandung, serta sejumlah literatur Darul Islam 78.
Tiga orang ditangkap: Karsidi yang pada waktu itu tinggal di Bekasi, luar kota Jakart; Dadang Surachman alias Dadang Hafidz (46) dari Cicendo, Bandung; dan kakak laki-laki Dadang, yaitu Endang Rukmana dari Cimahi, Bandung 79. Menurut laporan, ketiga orang itu sedang berada di tengah perjalanan menuju Solo untuk menjual amunisinya kepada seseorang yang akan mengirimkan amunisi-amunisi itu ke Ambon 80.
Dadang sebelumnya telah menjadi anggota kelompok usroh di Bandung. Menurut laporan, dia ditahan di Bandung selama beberapa bulan setelah peristiwa Lampung pada tahun 1989. Di penjara itu, dia jadi dekat dengan beberapa tokoh-tokoh DI yang dipenjarakan di situ, termasuk Ajengan Kecil, Emeng Abdurrahman, dan Dodo Kartosoewirjo, anak lelaki pendiri DI. Dadang akhirnya menjadi aktif di KW7 Darul Islam 81. Dia juga dikenal sebagai gurunya Abu Dujana, seorang pemimpin JI yang pergi ke Afganistan untuk berlatih berdasarkan rekomendasi Dadang.
Dadang dikenal di kalangan radikal sebagai pedagang senjata yang menggunakan oknum tentara (tentara nakal) di dalam tubuh militer untuk mendapatkan akses ke gudang PT. Penangkapan tersebut memberi kesan bahwa lingkaran yang menghubungkan kelompok Condet, usroh, Darul Islam, kekerasan di Ambon, dan Jemaah Islamiyah ada bersama-sama dalam perluasan jaring laba-laba afiliasi pribadi. Jika para pemimpin JI memerlukan senjata, maka sekurang-kurangnya, yang paling masuk akal adalah bahwa mereka akan berpaling kepada Dadang untuk mendapatkan persenjataan tersebut.
Yoyok. Seorang pemimpin geng dari Jakarta Utara yang bergabung dengan kelompok Condet setelah bertemu Broto, ia memiliki lintas bidang karir yang mungkin paling menarik. Yoyok membutuhkan perlindungan dari pembunuhan petrus, tetapi ia juga terkesan oleh pengetahuan agama Broto. Broto percaya kepadanya dan menjadikannya bendahara dalam struktur DI di Jakarta, pada tingkat yang sama dengan Muchliansyah alias Solihin, yang identitasnya dalam gerakan itu jauh lebih kuat.
Pada pertengahan 1985, Broto menawari Yoyok kesempatan untuk pergi ke Afghanistan dengan "kelas" pertama, tapi ia menikah akhir tahun itu dan memutuskan untuk tetap tinggal dan membantu dengan logistik. Keputusan itu secara hampir pasti membuatnya tetap pada pihak Ajengan Masduki saat terjadi perpecahan dengan Abdullah Sungkar beberapa tahun kemudian.
Pada tahun 1998, Yoyok, atas nama Ajengan Masduki, mulai mengirim orang ke Mindanao untuk pelatihan. Orang-orang rekrutan mereka adalah anggota DI di Jakarta yang paling militan, termasuk Achmad, Pikar (Zulfikar), Hanas, Agus, dan Asadullah 82.
Dengan dipimpin oleh Asadullah dan Yoyok, orang-orang ini nantinya membentuk satu kelompok sempalan Darul Islam, AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), pada tahun 1999, setelah kekerasan Ambon pecah. Yoyok tidak pernah bergabung dengan JI, ia tetap menjadi pemimpin geng tetapi tetap berhubungan dengan rekan-rekan lamanya.
Anggota Ring Ancol melihat ring itu sebagai ring yang jauh lebih egaliter daripada Ring Condet, tanpa imam dan tidak ada hirarki. Tapi dalam waktu enam bulan, kelompok Ancol juga telah terpecah dengan satu fraksi dipimpin oleh Abdul Haris yang ingin lebih berfokus pada tarbiyah (pendidikan) sesuai dengan garis Ikhwanul Muslimin 83, sedangkan Hidayat Nur memutuskan untuk memilih jalan yang lebih militan.
Pada pertengahan April 1988, kelompok di sekitar Nur Hidayat, termasuk Fauzi Isman, Sudarsono (mantan kepala BKPMI Jawa Timur), Wahidin, dan Zaenal Abidin, memutuskan untuk menggunakan cara militer untuk memaksakan penerapan syari'at Islam. Mereka sepakat untuk menghidupkan kembali kelompok-kelompok usroh Abdullah Sungkar, menghubungi mantan pemimpin Darul Islam dan orang-orang lain yang memiliki visi yang sama, dan merekrut anggota-anggota baru untuk pergerakan agar jadi lebih kuat, lebih praktis, dan lebih efisien daripada sebelumnya 84.
Cerita tentang rencana-rencana untuk mendirikan sebuah “desa Islam (Islamic Village)” di Lampung pada tahun 1988-1989 dan memulai di disitu pemberontakan yang baru — rencana yang berlangsung kacau dan tragis — telah diberitahukan kepada berbagai pihak kelompok itu 85. Tapi ada dua aspek yang patut diingat. Aspek yang pertama adalah bagaimana caranya agar Lampung menarik kelompok alumni Ngruki dan pengikut Abdullah Sungkar; aspek yang lain adalah upaya yang dilakukan untuk menjangkau generasi pejuang DI yang lebih tua untuk melihat apakah gerakan bisa dihidupkan kembali. (Bersambung)
Catatan kaki
74 Banyak alumni Afghanistan lain juga merupukan mantan anggota Ring Condet.
75 Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah Islam Indonesia) memiliki pengaruh yang kuat di Masjid Solihin, menurut Sajuli.
76 Interogasi Ahmad Sajuli, 30 Oktober 2002, dalam berkas kasus Abu Bakar Ba'asyir.
77 Ibid (diterjemahkan dari sumber bahasa Inggris Crisis Group, sehingga tidak identik dengan transkrip asli dalam bahasa Indonesia, meski demikian, intinya tetaplah sama).
78 “Polisi Belum Beberkan Identitias Tersangka”, Suara Merdeka, 7 April 2003; “Penyandang Dana Ambon Terlibat Penjualan Amunisi”, Suara Merdeka, 9 April 2003; and “Kasus Peluru Segera Dilimpahkan ke Kejaksaan”, Suara Merdeka, 28 April 2003.
79 Orang Indonesia lain yang juga bernama Dadang Surachman adalah orang kepercayaan Hambali berada di Malaysia dan merupakan anggota JI di sana. Ini adalah dua orang yang berbeda.
80 "Penyandang Dana Ambon Terlibat Penjualan Amunisi", Suara Merdeka, 9 April 2003.
81 Wawancara Crisis Group, January 2004. Ini adalah salah satu contoh dari pengalaman penjara mengakibatkan orang masuk DI.
82 Wawancara Crisis Group, Maret 2004
83 Maksudnya Ikhwanul Muslimin faksi moderat, karena Ikhwanul Muslimin juga memiliki faksi militan yang nantinya nampak dalam beberapa kelompok yang menggunakan kekerasan dalam perjuangannya semacam Hamas. Faksi militan Ikhwanul Muslimin mengikuti ajaran Sayyid Qutb, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang dibunuh oleh pemerintah Mesir setelah Ikhwanul Muslimin membunuh seorang pemimpin negara Mesir.
84 Ibid, hal.5.
85 Gerakan Usroh, op. cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar