Lanjutan dari "Tragedi Lampung: Peperangan yang direncanakan (3)"
Penulis: Riyanto (mantan Komandan Pasukan Khusus DI Talangsari, Lampung, Kelompok Warsidi)
AZWAR KAILI
Azwar berasal dari suku Minang. Ia lahir pada tahun 1942 di Pariaman, Padang. Pendidikan terakhirnya kelas III SMP pada tahun 1957. Ia tidak sempat menamatkan pendidikannya karena masuk Tentara Pelajar Pasukan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) bagian kesehatan.
Pada tahun 1959, ia merantau ke Tanjung Karang, Kabupaten Lampung Selatan, dengan profesi sebagai agen rokok cap Gentong.
Pada tahun 1966 kembali ke Pariaman untuk menikah. Setahun kemudian Azwar kembali ke Tanjung Karang, namun usaha agen rokok yang dilanjutkan kakak kandungnya telah bangkrut. Sisa modal digunakan untuk membuka warung nasi masakan padang yang tidak berhasil, sehingga beralih usaha menjadi pedagang kain keliling.
Sekitar tahun 1969 Azwar bergabung dengan kelompok masyarakat pendatang yang akan membuka Desa Sidorejo di kawasan Hutan Lindung Gunung Balak. Ia berjualan obat-obatan dan sejak itu berprofesi sebagai mantri kesehatan swasta di Desa Sidorejo.
Azwar ditahan selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat dengan tuduhan memberikan pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri, tetangga dekatnya.
Dua puteranya ikut pengajian Abdullah, mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah yang ditampung Zamzuri. Pada 4 Januari 1989 kedua puteranya ikut pengajian di Umbul Cihideung atas ajakan Abdullah. Kedua puteranya twermasuk korban Peristiwa 7 Februari 1989.
Begitulah sosok Azwar Kaili sebagaimana digambarkan Abdul Syukur, penulis buku berjudul Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, khususnya pada halaman 196-197.
Sedangkan melalui buku yang ditulis Al Chaidar dan kawan-kawan, berjudul Lampung Bersimbah Darah, sosok Azwar Kaili digambarkan sebagai berikut:
Azwar Kaili lahir tahun 1942 di Painan, Sumatera Barat. Dia adalah seorang pejuang yang tak kenal menyerah, berbudi pekerti baik dan bersikap tegas. Dalam hidupnya, segala persoalan dihadapinya dengan lapang dada dan senantiasa bersabar mencari hikmah dari semua peristiwa-peristiwa sejarah. Ia berhijrah ke Lampung pada tahun 1960. Baru pada tahun 1969 ia pindah ke Sidoredjo, sebagai the last frontier bagi hidupnya dan keluarga. Pada tahun 1969 tersebut, jumlah kepala keluarga yang berpindah ke Sidoredjo sebanyak 600 KK. Dia adalah salah seorang yang diperlukan sebagai mantri pengobatan di daerah baru tersebut. Pada waktu itu, sekitar tahun-tahun 70-an, penyakit malaria adalah penyakit yang ditakuti semua warga. Ia menyediakan obat-obat pil kina yang mencoba mengatasi penderitaan rakyat di sana. Pada awalnya, sebagai mantri pengobatan, ia juga bercocok tanam kedele dan tanaman tumpang sari lainnya.
Hidup memang terasa sangat keras di Sidoredjo pada tahun-tahun awal pembukaan lahan. Ia juga mengalami peristiwa tragis yang juga dialami banyak orang di Sidoredjo pada tahun 1971. Pada tahun 1971 terjadi sebuah peristiwa yang tidak dimengertinya, segerombolan tentara republik, tentara kehutanan, datang dan mengusir mereka semua yang tinggal di lahan pembukaan baru di Sidoredjo. Peristiwa ini sangat mengejutkan karena terjadi tanpa sebab yang jelas. Namun, semua itu dianggap sebuah “kekerasan formal” yang mungkin harus terjadi pada waktu itu. Pada tanggal 3 Maret 1973, ia menikah dengan seorang perawat bernama Ismini. Dengan istrinya inilah ia mengarungi hidup yang penuh dengan suka duka bersama dengan lima orang anaknya.
Dia merupakan satu-satunya orang dari Sumatera Barat –di samping itu ada lagi yang bernama St. Malano– yang ditangkap karena peristiwa berdarah itu. Diketahui, keterlibatannya dalam kelompok Warsidi ini di bawah koordinasi Sudiono dan Zamzuri. Bahkan Azwar merupakan penyelenggara kursus kesehatan dengan mengambil instruktur dari RSAM Tanjungkarang. Berkat ketekunan isterinya dalam mempelajari kursus tersebut, sehingga ia mendapat keahlian menyuntik dan mendapat gelar dari masyarakat setempat sebagai manteri kesehatan. Namun Azwar sendiri, sehariharinya bekerja sebagai tukang jahit pakaian.
…
Deskripsi tentang Azwar Kaili sebagaimana digambarkan Al Chaidar sangat mengagumkan. Namun, pada suatu hari saya amat sangat terkejut dan merasa begitu prihatin, ketika menyaksikan testimoni Azwar Kaili bersama istrinya, yang mengaku-ngaku sebagai korban kasus Talangsari (1989), pada program Buser Petang SCTV yang mengudara sejak 17:30 wib, khususnya segmen B-File (22 September 2003).
Pada testimoni itu, saya banyak menemukan pernyataan ‘aneh’ dari Bapak Azwar Kaili berserta istrinya. Sebagai mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi, saya tahu persis jatidiri Bapak Azwar Kaili.
Sebagai penduduk Sidorejo, Bapak Azwar Kaili tergolong aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan anak buah Warsidi bernama Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Begitu juga dengan Warsito, anak angkat Bapak Azwar. Putra pak Azwar Kaili yang pernah ikut-ikutan Warsito mengaji kepada Abdullah seluruhnya empat orang, tiga lainnya adalah Iwan, Haris, dan Ujang.
Meski usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Dulah sebagai calon Mujahid, dan secara resmi menjadi anggota Jama’ah Warsidi sekurangnya sejak tahun 1988. Warsito dan beberapa teman sebayanya sudah menjadi sosok yang militan akibat binaan Dulah.
Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama anak pak Sediono (almarhum terlibat kasus Talangsari) yaitu Zulkarnaen dan Zulfikar, juga anak pak Zamzuri (Isrul Koto) mereka pamit kepada orangtua masingmasing untuk berjihad ke Talangsari.
Ada satu momen khusus yang masih teringat, bahwa anak Pak Sediono yang bernama Zulfikar (teman Warsito) sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, menyampaikan kata-kata akhir kepada adiknya: “seandainya saya mati dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…”
Di SCTV pak Azwar mengatakan, bahwa kepergian Warsito ke Talangsari adalah untuk nyantri, dengan berbekal uang Rp 1.000 dan seekor ayam. Padahal, sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak Zamzuri, keberangkatan Warsito ke Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).
Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan ditahan. Hal ini terjadi pada hampir semua orang yang punya kaitan dengan pengajian yang diselenggarakan Dulah. Namun tidak lama, setelah melalui proses pemeriksaan, dan tidak terbukti ada kaitan dengan kasus Talangsari, maka mereka pun dilepas, termasuk pak Azwar, yang tidak ditemukan indikasi keterkaitannya dengan gerakan separatis Warsidi kecuali sebagai jamaah pengajian biasa.
Di SCTV, pak Azwar mengakui, bahwa rumah dan harta lainnya yang ia kumpulkan sejak masih bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Proses pembakaran itu terjadi ketika ia sedang memenuhi panggilan Danramil.
Pernyataan itu jelas tidak benar. Setahu kami, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas diri beliau, namun tidak ada pembakaran dan perampokan atas harta benda beliau.
Entah motif apa yang mendorong beliau menyampaikan pernyataan dusta kepada khalayak. Mungkin beliau sakit hati kepada pak Hendro.
Menurut pengakuan Sukardi, salah seorang tokoh kasus Talangsari, pada bulan September tahun 2002, pak Azwar menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan pak Hendro, tujuannya untuk mendapatkan kompensasi atas musibah yang selama ini ia derita berkenaan dengan kasus Talangsari.
Namun, permintaan pak Azwar melalui Sukardi untuk dipertemukan dengan pak Hendro itu sama sekali tidak terlaksana, karena saat itu pak Hendro menurut Sukardi sedang bertugas ke luar negeri. Ketika itu, pak Azwar Kaili memberi ultimatum kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu satu bulan tidak bisa dipertemukan dengan pak Hendro maka beliau akan mengajukan tuntutan kepada pak Hendro.
Jadi, menurut hemat saya, motif yang melandasi Pak Azwar Kaili bukanlah sesuatu yang luhur (demi kemaslahatan ummat atau korban) tetapi semata-mata ingin mencari peluang mendapatkan keuntungan materiel (finansial) dengan mengeksploitasi (mengkomersialkan) keterkaitan dirinya dengan anak angkatnya yang bernama Warsito.
Kini, di usianya yang kian senja, Azwar Kaili berhadapan dengan musibah yang sangat memilukan, yaitu: dua orang anak kandungnya (Haris dan Ujang) ditangkap aparat kepolisian karena terlibat tindak kriminal: mereka berdua menjadi penadah sepeda motor curian di Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar