Lanjutan dari "Tragedi Lampung: Peperangan yang direncanakan (4)"
Penulis: Riyanto (mantan Komandan Pasukan Khusus DI Talangsari, Lampung, Kelompok Warsidi)
FAUZI ISMAN
Fauzi Isman lahir di Tanjung Karang, Bandar Lampung, tanggal 27 Februari 1967. Meski lahir di Lampung, ia campuran Jawa Timur dan Minang. Ayahnya pensiunan TNI-AD tahun 1973 dengan pangkat terakhir Peltu (Pembantu Letnan Satu).
Tahun 1979, Fauzi lulus SD XXV Tanjung Karang. Tahun 1982, ia berhasil menyelesaikan studinya di SMP I Tanjung Karang. Kemudian melanjutkan pendidikan formalnya setingkat Aliyah di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Jombang, Jawa Timur, hingga selesai pada tahun 1985. Tahun 1988 lulus Akademi Ilmu Statistik tahun. Tahun 1982 Fauzi Isman mengikuti basic training Pelajar Islam Indonesia (PII) Tanjung Karang, Lampung, dan aktif dalam Komisariat Masjid Baabus Salam Pelajar Islam Indonesia (PII).
Pertengahan tahun 1987 Fauzi Isman masuk anggota kelompok pengajian mahasiswa Akademi Ilmu Statistik dan berkenalan dengan Sudarsono, seorang tokoh Peristiwa Lampung 1989. Fauzi Isman termasuk anggota paling cerdas, sehingga dipercaya menjadi utusan ke Nusa Tenggara Barat untuk menjelaskan rencana hijrah ke Umbul Cihideung, Lampung. Ia diangkat menjadi sekretaris Amir Musyafir Nur Hidayat dalam pertemuan 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat.
Pada tanggal 3 September 1998, Fauzi Isman bersama-sama dengan Ahmad Yani Wahid, Sudarsono, Maulana Abd Latief, melakukan unjuk rasa ke gedung DPR/MPR, dengan membawa sekitar 200 orang demonstran yang dinyatakan sebagai korban peristiwa Talangsari. Peristiwa ini antara lain diabadikan oleh harian KOMPAS, edisi 4 September 1998, halaman 6:
Fauzi Isnan , salah seorang mantan napol kasus Lampung mengatakan, semua pihak harus mengakui bahwa luka politik masa lalu yang melibatkan umat Islam dan ABRI adalah suatu kesalahan. “Dan penyelesaian terbaik, adalah menyisihkan sikap saling curiga dan prasangka buruk dalam kerangka rekonsiliasi nasional,” ujarnya. Itu, menurut Fauzi, dapat dilakukan melalui pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan terhadap para korban dan keluarganya, termasuk para napol dan keluarganya yang hak perdatanya telah dimatikan… Jadi, ketika sebagian napol kasus Talangsari (Lampung) masih berada di LP Nusakambangan, konsep ishlah sudah disosialisasikan dan digemakan oleh Fauzi Isman dan kawan-kawannya.
Sikap Fauzi Isman dan kawan-kawan itu, ternyata mendapat ‘perlawanan’ dari Nur Hidayat. Pada tanggal 18 September 1998, Nur Hidayat bersama dengan Sukardi dan Ruminah mendatangi kantor YLBHI. Peristiwa ini diabadikan oleh harian REPUBLIKA, edisi 19 September 1998, halaman 3:
Keluarga dan korban tragedi Lampung kembali mendesak agar pemerintah segera memberikan tindakan rehabilitasi kepada mereka. Mereka juga berharap pihak ABRI segera melakukan tindakan konkret dengan mengambil tindakan pidana kepada para prajurit yang terlibat dalam kasus tersebut.
“Yang kami lakukan ini bukanlah berdasarkan kepada dendam. Yang kami tuntut adalah agar keadilan segera bisa ditegakkan,” kata Nur Hidayat, terpidana korban peristiwa kasus Warsidi Lampung, di kantor YLBHI, Jakarta, kemarin (18/9).
Dia mengatakan, saat ini pihaknya memang telah mendengar bahwa ada beberapa orang yang menyatakan diri tidak sepakat bila kasus Lampung itu dibuka kembali. Namun, lanjut Nur Hidayat, hingga kini dia sama sekali belum tahu isi persis dari sikap penolakan tersebut.
…
Sebelumnya, pada Maret 1998, Nur Hidayat memproklamirkan diri sebagai korodinator KORAMIL (Korban Kekerasan Militer), menuntut Komnas HAM mengungkap kasus Lampung dengan membentuk tim pencari fakta independen. KORAMIL nampaknya didirikan oleh Nur Hidayat dalam rangka memberikan ‘perlawanan’ terhadap KORSANDI yang sudah digemakan Sudarsono sebelumnya. Entah apa yang terjadi antara kedua tokoh penting kasus Lampung itu, padahal mereka berdua ditambah Fauzi Isman yang ikut memulai gerakan ishlah, dengan mendatangi kantor Mentrans Hendropriyono, sebagaimana diabadikan oleh harian REPUBLIKA edisi 30 Januari 1999, halaman 1:
…
Munculnya ide Ishlah nasional ini, menurut mantan Napol Talangsari, Sudarsono, seminggu setelah lengsernya Pak Harto. Ia dan dua orang temannya yang masih dalam proses asimilasi, yaitu Fauzi dan Nurhidayat mendatangi Mentrans Hendropriyono di Deptrans. Ia minta tolong kepada Hendro, agar ia dan teman-temannya semua kasus Talangsari bisa mendapat grasi dari pemerintah.
…
Dengan demikian, Fauzi Isman, bersama-sama dengan Sudarsono dan Nur Hidayat, sudah sejak awal reformasi mencetuskan ishlah setidaknya untuk kasus Lampung. Entah apa alasannya ketika Nur Hidayat kemudian melakukan ‘perlawanan’ ketika gerakan ishlah mulai menggelinding.
Entah apa pula yang menyebabkan Fauzi Isman berubah pikiran menentang ishlah, dan bergabung dengan Kontras dalam kapasitasnya sebagai koordinator KORAMIL (Korban Kekerasan Militer) yang dua tahun sebelumnya dijabat oleh Nur Hidayat. Peristiwa ini diabadikan oleh harian KOMPAS edisi 18 April 2000, halaman 8:
Upaya mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan sejumlah warga desa Talangsari, Lampung Tengah, 7 Februari 1989 lalu, kini berusaha dihambat oleh kelompok yang diperkirakan berhubungan erat dengan mantan Komandan Korem (Danrem) Garuda Hitam selaku penanggungjawab penyerangan kala itu. Korban dan keluarga korban dibujuk dengan uang, sapi, tanah dan rumah, bahkan ada juga yang diculik untuk kemudian dipaksa ikut dalam aksi ke Komnas HAM menuntut Komnas untuk tidak usah ikut campur dalam penyelesaian soal Talangsari. Hal tersebut disampaikan Ahmad Hambali dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) sebagai penasihat hukum korban Lampung, dan Koordinator Korban Kekerasan Militer (Koramil) kasus Talangsari, Fauzi Isman, pekan lalu, di Jakarta. Komandan Korem Garuda Hitam waktu itu adalah Kolonel (Inf.) AM Hendropriyono. Isman mengungkapkan, pernyataan mantan Danrem Garuda Hitam bahwa dirinya tidak keberatan bila kasus Lampung diungkap kembali, tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Melalui sejumlah orang, upaya pengungkapan kasus Lampung itu berusaha dihambat dengan teror dan tawaran uang kepada para saksi korban dan saksi mata di sekitar lokasi kejadian.
“Pada tanggal 22. Maret 2000, rumah kediaman kami diteror sekelompok orang yang tidak dikenal yang menggunakan motor, setelah saya diwawancarai radio Jakarta News FM. Para saksi korban pembantaian Talangsari yang berada di Solo dan Lampung, terbujuk untuk melakukan demo anti pengungkapan dengan menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengungkap peristiwa Talangsari tersebut dengan imbalan uang sekitar satu.juta rupiah dan dua ekor sapi,” ungkap Isman.
Isman menegaskan, dia dan kawan-kawan menginginkan adanya pengungkapan agar jelas apa yang terjadi dan di mana mereka yang hilang itu berada. “Mengenai bagaimana tindak lanjutnya setelah itu, apakah akan memaafkan atau terus menuntut proses hukum, itu persoalan kemudian. Yang penting ada pengungkapan dulu agar jelas kejadiannya,” ungkapnya. (oki)
Sikap Fauzi itu mendapat reaksi keras dari mantan korban kasus Lampung, antara lain sebagaimana terwakili melalui surat pembaca yang dimuat oleh majalah PANJI MASYARAKAT edisi 3 Mei 2000, halaman 10-11, sebagai berikut: Sehubungan dengan pemberitaan sebuah harian Ibu Kota edisi 18 April 2000, halaman 8, berjudul “Korban Talangsari Coba Dibungkam”, saya sebagai salah seorang mantan narapidana kasus Talangsari (Lampung) bersama ini bermaksud menyanggah isi dari berita tersebut, terutama yang bersumber dari sdr. Fauzi Isman. Adalah tidak benar bahwa korban kasus Talangsari (Lampung) dibujuk untuk tidak mengungkit kembali masalah tersebut, dan mendapat iming-iming berupa uang tunai, rumah, tanah, dan sapi.
Kami melakukan unjuk rasa ke Komnas HAM dan sebagainya, adalah untuk menghentikan langkah sdr. Fauzi Isman yang tiba-tiba berminat untuk mengungkap kembali kasus Talangsari, padahal sebelumnya, sekitar 1998, Fauzi dan kawan-kawan pulalah yang menyodorkan penyelesaian damai (konsep ishlah).
Sepengetahuan kami, sdr. Fauzi Isman dan kawan-kawan ketika itu (1998) sudah banyak mengatasnamakan korban kasus Talangsari, dan sudah mengeruk keuntungan finansial yang cukup banyak melalui upaya damai (ishlah) tersebut. Bahkan, Fauzi Isman telah melakukan manipulasi terhadap mobil Kijang sumbangan Hendropriyono, yang sebenarnya ditujukan guna memperlancar urusan-urusan bisnis kelompok korban kasus Talangsari (via Yayasan Bunayya). Mobil tersebut dikuasainya dan sampai sekarang tak jelas keberadaannya.
Kepada korban Talangsari, Hendropriyono memang pernah memberikan santunan Idul Fitri (1420 H) berupa uang tunai beberapa juta rupiah untuk beberapa orang korban kasus Talangsari yang baru saja keluar dari tahanan dan belum bisa mencari uang sendiri --jadi bukan kepada semua korban. Dalam hal ini, sdr. Fauzi justru menerima jauh lebih banyak dari uang THR yang diterima sebagian kecil korban Talangsari.
Begitu juga sumbangan sapi yang jumlahnya hanya empat ekor, dan diperuntukkan bagi kepentingan komunitas korban Talangsari (asal Solo, Jateng) secara keseluruhan, bukan untuk keperluan pribadi-pribadi. Namun sampai saat ini keempat ekor sapi tersebut sulit dilacak keberadaannya, sehingga tidak memberi manfaat apa-apa bagi korban kasus Talangsari asal Solo itu.
Tujuan kami adalah untuk mengingatkan sdr. Fauzi Isman, yang saat ini masih berstatus “bebas bersyarat” agar tidak melakukan ulah macam-macam, padahal telah cukup banyak mendapat keuntungan finansial dan materiel dari Hendropriyono, dengan mengatas-namakan korban kasus Talangsari. Kami khawatir, jika kasus penggelapan mobil Kijang diperkarakan Hendropriyono, kemungkinan besar Fauzi akan kembali ke tahanan tanpa proses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar