Kamis, 28 April 2011

Tragedi Lampung Peperangan Yang Direncanakan (3)

Lanjutan dari "Tragedi Lampung: Peperangan yang direncanakan (2)"

Penulis: Riyanto (mantan Komandan Pasukan Khusus DI Talangsari, Lampung, Kelompok Warsidi)

Peranan Nurhidayat

Nurhidayat pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari-Lampung (Februari 1989).

Nurhidayat, Sudarsono, Fauzi dan sebagainya itu, sebenarnya bukanlah sosok yang mengerti secara baik esensi perjuangan. Rencana “aksi radikal” yang mereka rancang sesungguhnya lebih dilandasi oleh sebuah ambisi, sehingga dalam prakteknya mereka begitu mudah mengorbankan pengikut-pengikutnya sendiri. Selain itu, mereka juga tidak mampu berhitung secara cermat, yang merupakan modal dasar seorang komandan pergerakan. Sebab, bagaimana mungkin dengan jumlah jama'ah yang tidak mencapai 40 orang laki-laki dewasa –dengan persenjataan yang primitive – mampu menghadapi ratusan tentara bersenjata modern, apalagi melalui perang terbuka.

Nampaknya ambisi besar untuk bisa diperhitungkan di kalangan harakah Islam telah menjadikan hatinya buta, sehingga tidak bisa lagi memperkirakan resiko (kekalahan) yang akan diderita. Ambisinya telah menutupi akal sehatnya sendiri, sehingga tanpa perhitungan yang cermat ia dan kawan-kawannya membuat semacam “negara” di dalam negara yang karena keawamannya sampai tercium oleh aparat setempat.

Di “negara” Talangsari itu, Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan, dengan pertimbangan senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh jiwa. Karena tercium adanya upaya membentuk “negara” di dalam negara, maka Komandan Koramil setempat merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Kedatangan Danramil Kapten Inf. Soetiman disambut dengan hujan panah dan golok, sehingga Kapten Soetiman tewas dan dikuburkan di wilayah “negara” Talangsari.

Dengan tewasnya Kapten Inf. Soetiman, maka aparat keamanan (Danrem) mengambil tindakan tegas kepada kelompok jama'ah Warsidi. Sehingga, terjadilah penyerbuan ke “negara” Talangsari oleh aparat setempat (Danrem) yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan “negara” Talangsari yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi, sehingga korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak.

Di negara mana pun, apabila aparatnya dibunuh oleh sekelompok orang yang diidentifikasi berpotensi memisahkan diri dari negara yang sah, atau baru ingin memisahkan diri dari negara yang sah, pasti akan ditindak dengan tegas oleh aparat pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut.

Sebagai contoh di Malaysia, pernah dilakukan tindakan tegas oleh aparat pemerintah Malaysia pada akhir tahun 1970- an, berupa penyerbuan terhadap kelompok Ibrahim Libya dengan pasukan yang dipersenjatai tank dan panser. Begitu juga terhadap kelompok David Koresh di AS. Tetapi di kedua negara tersebut tidak menimbulkan korban banyak karena tidak ada perlawanan. Berbeda dengan kelompok Warsidi yang memberikan perlawanan sengit dan brutal terhadap aparat pemerintah yang sah.

Oleh karena itu merupakan konsekuensi logis bila kelompok Warsidi dikenai tindakan tegas dan dari situ kemudian jatuh sejumlah korban, akibat bentrok dengan aparat yang dibantu penduduk di lingkungan “negara” kekuasaan Warsidi. Jadi, istilah “pembantaian” pada kasus Talangsari sama sekali tidak benar, karena sejak dari Jakarta “para aktivis dari Jakarta” sudah merancang sebuah pemberontakan bersenjata (primitif) dalam rangka mendirikan sebuah daulah di tengah-tengah Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu, “para aktivis dari Jakarta” adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya tragedi berdarah di Talangsari, Lampung. Nurhidayat telah memerintahkan untuk membuat “kota perjuangan” sebagai basis pergerakan, di Talangsari.

Sebagai Imam Musafir, Nurhidayat adalah penentu bagi mereka yang akan berhijrah ke Talangsari. Bahkan siapa saja (dari Jakarta atau Jawa Tengah) yang bermaksud melaksanakan hijrah ke Talangsari, Lampung, harus mengangkat janji kepada kepemimpinan Nurhidayat, juga harus di-bai'at (sumpah setia dan taat kepada Nurhidayat tanpa boleh ditentang), bahkan siap mati untuk perjuangan menegakkan syariat Islam. Jadi sejak awal, mereka yang berhijrah atau dihijrahkan ke Talangsari, Lampung, sudah bertekad untuk berjuang sampai mati, tidak ada penyesalan apabila terjadi kekalahan atau resiko apapun yang nantinya bakal terjadi dalam basis pergerakan di Talangsari, Lampung itu.

Oleh karena itu, mereka yang terlibat kasus Talangsari, Lampung, dan ikhlas dalam perjuangan, tidak ada agenda tuntut menuntut, atau menyesali “kekalahan” yang diderita. Sebab kalah atau menang, mati atau hidup sudah merupakan resiko perjuangan. Karenanya, sejak awal bila memang berniat untuk berjuang tidak boleh gegabah dalam menentukan sikap, sebab setiap perjuangan selalu mengorbankan nyawa orang banyak.

Sedangkan mereka yang terbukti kemudian tidak ikhlas, lebih cenderung melakukan serangkaian upaya tuntut­menuntut, yang oleh masyarakat banyak dibaca sebagai upaya komersialisasi semata.

Jadi, peristiwa Talangsari, Lampung, tidak persis sama dengan dengan kasus Priok (1984), berbeda dengan peristiwa Santacruz di Timor Timur. Karena, peristiwa Talangsari, Lampung merupakan gerakan yang sudah direncanakan dari Jakarta oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Sejak awal, Nurhidayat dan kawan-kawan sudah merencanakan peperangan terbuka dengan aparat. Sebuah gagasan yang konyol.

Related Articles:



This Related-Post-By-Category Widget by Hoctro | Jack Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar