Yudi: Awalnya Saya Hanya Ingin Belajar Agama
Paras wajahnya khas pemuda Aceh. Berkulit gelap, kelopak mata dalam dengan sorot yang tajam. Rabu, 17 Maret 2010, pemuda Aceh ini bersedia menerima wawancara dengan Kompas di suatu tempat di kota Banda Aceh. Pakaiannya serba hitam, kaus lengan panjang, dan celana kain sepanjang mata kaki. Meski di Aceh, perbincangan kami sembari diselingi makan siang, karedok.
Namanya Yudi Zulfahri (27). Yudi adalah salah satu tersangka terorisme yang ditangkap 22 Februari 2010 di perbukitan Jalin, Jantho, Aceh Besar.
Sejak Januari 2010 di hutan di perbukitan itu, kelompok jaringan teroris dari berbagai daerah di Indonesia berlatih militer dengan senjata api. Kelompok itu dikendalikan para buron lama, termasuk Dulmatin, serta mantan narapidana terorisme.
Di kelompok ini, Yudi berperan sentral dalam pembukaan kamp pelatihan tersebut. Dialah penghubung penting jaringan terorisme yang berpusaran di Pulau Jawa dengan kelompok lokal di Aceh.
Yudi lahir di Banda Aceh, 18 Maret 1983. Sejak SD hingga SMA, dia bersekolah di sekolah negeri di Banda Aceh. Lulus SMA, Yudi sempat bersekolah selama satu tahun di Fakultas Ekonomi, Universitas Unsyiah, Banda Aceh. Tahun 2002, Yudi lalu mendaftar ke Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor, Jawa Barat. Dua tahun terakhir kuliahnya di Kampus STPDN Jakarta.
Bagaimana latar belakang sampai terikut dengan jaringan dari Jawa?
Awalnya hanya ingin belajar agama. Di tingkat akhir kuliah di STPD, tahun 2006, saya ikut pengajian di kampus. Lalu, ada teman pengajian yang ajak saya ikut ke suatu jemaah, kelompok pengajian yang lain. Namun, saya harus membaca syahadat lagi. Sebelum ikut, saya konsultasi dengan ustaz di kampus dan menurut beliau cara itu tidak benar. Saya akhirnya batal ikut. Namun, sejak itu saya tertarik belajar Islam lebih dalam. Saya banyak beli buku tentang Islam. Suatu ketika, setelah lulus, saya membeli buku berjudul Siapa Teroris Siapa Khawarij karangan Abduh Zulfidar Akaha. Di buku tersebut, ada VCD berisi bedah buku itu. Pembicaranya ustaz Halawi Makmun, Fauzan Al-Anshari (Majelis Mujahidin Indonesia/MMI), dan Abduh Zulfidar sendiri. Saya lalu mencari nomor kontak ustaz Halawi. Kebetulan ada teman yang menyimpan karena beliau pernah bersama MMI ke Aceh setelah terjadi tsunami tahun 2004. Sejak itu, saya konsultasi agama dengan beliau lewat hape.
Apa yang didapat dari konsultasi itu?
Pemerintah kita tidak bersandar pada hukum Islam, padahal mayoritas penduduk adalah Muslim. Kita seharusnya bersandar pada hukum Allah, bukan hukum buatan manusia.
Lantas, adakah pengaruhnya dengan kehidupan?
Saya akhirnya keluar bekerja dari kantor Camat Jaya Baru, Aceh. Setelah lulus kuliah, saya kerja sebagai anggota staf administrasi di sana. Lagi pula pekerjaan saya sering bertentangan dengan nurani, bikin laporan fiktif. Saya lalu ke Bandung lagi, ngontrak di Geger Kalong, kerja dagang pulsa dan baju Muslim, sekaligus rutin ikut pengajian ustaz Halawi di masjid di Jatinangor. Mei 2007, saya akhirnya kembali ke Banda Aceh karena adik meninggal kecelakaan tenggelam di laut.
Perjalanan selanjutnya?
Akhir tahun 2007 saya memutuskan ke Jakarta setelah lihat di majalah Al-Muhajirun ada iklan lowongan distributor buku di Jakarta, di daerah Lenteng Agung. Saya lalu ke Jakarta dan ngontrak di Ranco, Tanjung Barat, tidak jauh dari kantor distributor tersebut. Di Ranco itu, ada Masjid Baiturrahman Ranco.
Di masjid itu, saya ikut pengajian ustaz Aman Abdurrahman (bekas narapidana kasus bom Cimanggis 2004. Aman sudah ditangkap lagi di Sumedang 19 Maret 2010). Ketika beliau masih di penjara, muridnya, ustaz Kamal (salah satu buron terorisme yang ikut pelatihan militer di Aceh. Kamal atau Kamaludin Septiono Samin Saan, mantan narapidana bom Cimanggis), yang pimpin pengajian.
Dari pengajian itu, apa ajaran yang didapat, apakah serupa dengan ustaz Halawi?
Setiap umat Islam, rakyat dan pemerintahnya wajib berhukum dengan hukum Allah. Orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidak boleh didukung. Bedanya dengan ustaz di kampus dulu, itu tidak masalah. Beliau bilang tidak perlu bermusuhan dengan orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Pembahasannya kuat, kami bisa bertanya apa saja, dialognya dua arah. Saya setuju.
Hukum syariah seperti di Aceh?
Meskipun di Aceh sudah ditetapkan syariah, tetapi cuma kulitnya, sekadar formalitas. Pemerintah di sini tidak serius menegakkan syariah. Sering kali, banyak pelanggar syariah dibiarkan tidak ditindak. Saya kecewa. (Sarie Febriane)
2010/03/29
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/.../yudi.awalnya.saya.hanya.ingin.belajar.agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar