Laskar Front Pembela Islam Aceh yang akan dikirim ke Jalur Gaza dilatih oleh Sofyan Tsauri, pentolan Al-Qaidah Aceh yang kini tertangkap |
Masuknya Sunata dalam jaringan al- Qaidah aceh membawa banyak manfaat. Dia menguasai simpul-simpul mujahidin yang pernah aktif di Kompak, baik ketika mereka beraksi di Poso, ambon, maupun Mindanao, Filipina. Kuat diduga, Sunatalah yang membawa Dulmatin pulang. ”Mereka memang dekat sejak sama-sama di ambon,” kata asep Jaja.
Selain membawa Dulmatin, Sunata mengajak arham dan Jaja—dua pentolan al-Qaidah aceh yang tewas tertembak di Leupueng, aceh Besar, dua pekan lalu. Dua orang ini adalah bagian dari lingkaran dalam rois alias Iwan Darmawan, pelaku utama bom di Kedutaan australia. ”Mereka dari kelompok Darul Islam di Banten,” kata Noor Huda Ismail, Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, lembaga yang mengamati gerakan teror di Indonesia.
Terbukti, meski saat ini tengah menanti hukuman mati di LP Cipinang, rois aktif berkomunikasi dengan jejaring aceh. Delapan telepon selulernya baru disita polisi bulan lalu. ”Dia berhubungan dengan Sapta alias Syailendra,” kata sumber Tempo, seorang perwira di Mabes Polri (lihat ”Sapta dari Gang Buana”).
Tak hanya itu, sel-sel Jamaah anshari Tauhid (JaT)—kelompok baru yang didirikan abu Bakar Ba'asyir selepas pengunduran dirinya dari Majelis Mujahiddin Indonesia—juga ikut ”bermain” di aceh. Nama Ubaid alias Luthfi Hudaeroh dan Deni alias Faiz, misalnya, sudah dirilis polisi sebagai buron al-Qaidah aceh. ”Suara khotbah di video al-Qaidah aceh adalah suara Ubaid,” kata sumber Tempo.
Ubaid dan Deni bukan orang sembarangan. Mereka seangkatan dengan Urwah dan Jabir, yang sudah tertembak mati dalam pengejaran polisi. Keempatnya adalah alumni Universitas an-Nur atau Mahad aly di Solo, Jawa Tengah, yang juga dikenal sebagai pengawal setia Noor Din M. Top.
al-Qaidah aceh ini tampaknya berhasil menggabungkan sel dari Kompak, Darul Islam, dan JaT dalam satu wadah gerakan. ”Jejaring baru di aceh ini benarbenar membingungkan, semua kelompok lebur jadi satu,” kata Huda Ismail.
Meski petanya melebur, polisi yakin pola rekrutmen terorisme setelah kematian Noor Din pada September 2009 tidak berubah. ”Jalurnya tetap tiga: persahabatan, garis keluarga, dan hubungan guru-murid,” kata satu perwira yang menolak disebut namanya. Pola rekrutmen dengan pertalian keluarga sudah dilakukan sejak dulu: hubungan kawin-mawin dan persaudaraan di antara sesama penganut ajaran garis keras. Dua paman Iwan Dharmawan alias rois, yakni Kang Jaja dan Saptono, misalnya, aktif di al-Qaidah aceh. Jaja sendiri belakangan merekrut keponakannya yang lain, Ibnu Sina.
Ibnu, 17 tahun, pemuda dari Pandeglang, Banten, kabarnya disiapkan sebagai pelaku peledakan bom bunuh diri (lihat ”Eksekusi!”). Pola rekrutmen lewat hubungan persahabatan tampak dari masuknya Yudi Zulfahri—orang aceh yang melakukan survei awal untuk lokasi kamp militer di Jantho. Dia diajak oleh Gema awal ramadhan. Keduanya sama-sama alumni Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor, Bandung. Yudi dan Gema saat ini sudah ditahan polisi. Yudi belakangan mengajak Sofyan Tsauri.
Gema mulai dekat dengan kelompok Islam garis keras lewat pengajian aman abdurrahman. Saat abdurrahman dibui di LP Sukamiskin, kebetulan Gema juga ditahan di sana setelah terlibat penganiayaan siswa STPDN, Wahyudi, pada 2007.
Laporan International Crisis Group pada November 2007 menyebutkan, ”Gema dan sejumlah siswa STPDN yang ditahan di penjara itu langsung tertarik pada ajaran garis keras abdurrahman.” Masuknya Gema mewakili pola rekrutmen melalui hubungan guru-murid. Keterlibatan banyak eks narapidana terorisme dan penggunaan penjara sebagai tempat penyebaran ideologi garis keras ini membuat khawatir banyak pihak.
”Kasus terakhir di aceh ini memang menandakan ada kelemahan dalam proses penanganan narapidana terorisme di Indonesia,” kata Huda Ismail. Menurut dia, saat ini ada sekitar 350 mujahidin eks afganistan di seluruh Indonesia. ”Tanpa penanganan yang benar, jejaring baru akan terus berkembang,” katanya.
Wahyu Dhyatmika, Budi Setyarso (Jakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Imran (Lhokseumawe), adi Warsidi (Banda aceh)
Sumber: http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/teroris/page03.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar