Tengku Muslim Atthahiri, pemimpin Pesantren Darul Mujahiddin di tengah sukarelawan jihad di Lhokseumawe, Januari 2009 |
Akhir Januari 2009, perbukitan Cot Kareung, hanya 6 kilometer di luar kota Lhokseumawe. Seratusan pemuda tanggung—ada yang bercelana loreng, berbaju kaus, dengan aneka jenis sepatu— melompat dan merunduk di bawah arahan seorang pria setengah baya. Si instruktur menutup seluruh wajahnya dengan kain bermotif kotak hitamputih, menyisakan sepasang matanya yang melotot, awas mengawasi muridmuridnya berlatih bela diri. Bercelana loreng, si pelatih mengenakan rompi bertulisan ”polisi” di punggungnya.
”Ini pelatihan laskar Front Pembela Islam yang akan kami kirim ke Jalur Gaza,” kata Tengku Muslim atthahiri, ulama muda pemimpin Dayah Darul Mujahiddin, yang mengorganisasi latihan itu. Koresponden Tempo, Imran M.a., menemuinya seusai latihan, setahun lalu. Ketika itu, Israel memang tengah habis-habisan membombardir wilayah Palestina yang dikuasai Hamas itu. ”Kami merasa terpanggil berjihad di sana,” katanya. atthahiri adalah Sekretaris FPI aceh.
Total ada 125 pemuda yang dilatih. Mereka berasal dari seluruh aceh dan mendaftar setelah membaca pengumuman Front Pembela Islam di surat kabar. ”Sebenarnya ada 500 lebih yang mendaftar,” kata atthahiri. Latihan dilakukan empat hari empat malam, di Bukit Cot Kareung, persis di belakang kompleks Pesantren Darul Mujahiddin. Ketika diwawancarai pada 2009, atthahiri mengaku mendatangkan dua instruktur bela diri dan satu pelatih militer dari Jakarta. Salah satu pelatih saat itu adalah Sofyan Tsauri—pentolan al-Qaidah aceh yang kini tertangkap.
Sofyanlah yang mengenakan rompi ”polisi” dan menutup mukanya ketika memimpin latihan setahun lalu. Belakangan terungkap, dia memang brigadir polisi yang desersi dari Polres Depok pada 2008. Beberapa peserta pelatihan ingat saat itu Sofyan sangat tertutup. ”Selesai latihan, tidak pernah bicara lagi, langsung pulang,” kata satu sumber Tempo.
Ketika dimintai konfirmasi pekan lalu, Tengku Yusuf al-Qardhawi, Ketua FPI aceh, membantah Sofyan adalah instruktur kiriman FPI Pusat di Jakarta. ”Dia sendiri yang datang kepada kami, mengaku bekas mujahidin di afganistan dan Mindanao,” kata Yusuf. Karena memang membutuhkan pelatih militer, tawaran bantuan dari Sofyan diterima begitu saja.
Awal Februari 2009, Yusuf dan 15 lulusan terbaik pelatihan militer di Cot Kareung datang ke Petamburan, markas FPI Pusat di Jakarta. Sofyan ikut bersama mereka. ”rencananya, 15 orang ini ikut pendidikan pemantapan dua pekan di Jakarta,” kata Yusuf. Tapi, Maret 2009, rencana ke Palestina akhirnya batal. Bukannya pulang kampung kembali ke aceh, sebagian relawan jihad ini malah memilih tinggal di Ibu Kota. ”Tujuh orang tidak mau pulang,” kata Yusuf. Mereka yang tinggal inilah yang belakangan bergabung dengan Sofyan di kamp pelatihan Tanzim al-Qaidah aceh.
Simpul Sofyan dan anak-anak didikannya di kamp pelatihan militer FPI bersentuhan dengan Tanzim al-Qaidah aceh lewat pengajian garis keras aman abdurrahman. Dia adalah ustad yang pernah ditahan di LP Sukamiskin, Bandung, karena terlibat kursus pembuatan bahan peledak di Cimanggis, Depok, awal 2004.
Selain Sofyan, Yudi Zulfahri— juga bagian dari kelompok al-Qaidah aceh—adalah pengikut pengajian abdurrahman. Sumber Tempo menuturkan, sejak ditahan di LP Sukamiskin, abdurrahman amat dekat dengan selsel kelompok militan teror. Salah satu jejaringnya adalah abdullah Sunata. Sunata adalah mantan pemimpin Komite Penanggulangan Dampak Krisis (Kompak) yang aktif menggalang konflik di ambon dan Poso. Sunata ditangkap polisi pada Juli 2005 karena memiliki senjata tanpa izin. Dia divonis tujuh tahun penjara dan dibui di LP Cipinang.
”Saya kaget Sunata aktif lagi, karena dia baru saja bebas,” kata asep Jaja, kawan seangkatan Sunata saat berperang di ambon. asep sekarang dihukum penjara seumur hidup di LP Porong, Jawa Timur. (Bersambung)
Sumber: http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/teroris/page02.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar