Lanjutan dari.... "DAUR ULANG MILITAN-MILITAN DI INDONESIA (12)"
Diterjemahkan oleh StuyCycle.NET dari Asia Report N°92 - 22 Februari 2005
Untuk koleksi Perpustakaan Online StudyCycle.NET
A. ADAH DJAELANI MENJADI IMAM
Pada tanggal 1 Juli 1979, dalam sebuah pertemuan di Tangerang, di luar Jakarta, dihadiri oleh enam belas pemimpin DI, Adah Djaelani dipilih sebagai imam. Para pemimpin senior lainnya mengistilahkan pengangkatannya sebagai kudeta tak berdarah 46. Dia mencapai posisi teratas di DI melalui beberapa taktik manipulatif yang luar biasa .
Pertama, ia memiliki saingan kunci yang telah dibunuhnya. Perpecahan antara faksi fillah non-kekerasan dan Fisabilillah militan tumbuh semakin memburuk sejak pertama kali muncul pada tahun 1975. Sayap Fisabilillah melihat faksi fillah sebagai orang-orang yang telah meninggalkan jihad dan karena itu, secara lebih luas lagi, juga telah meninggalkan gerakan NII, selain fisabilillah juga masih menyimpan sakit hati bukan hanya karena fillah menyebut diri mereka diri sebagai DI, melainkan juga karena mengklaim pemimpin fillah, yaitu Djaja Sudjadi, sebagai imamah.
Pada tahun 1978, Adah, menurut para pendukungnya, mengupayakan sebuah fatwa dari Ajengan Masduki tentang boleh-tidaknya ada dua imam di bawah syari'at Islam. Ajengan Masduki yang mengira Adah mengajukan pertanyaan hipotetis sekedar main-main, mengatakan bahwa jika ada dua imam, maka yang satu pastilah palsu, dan hukuman baginya adalah hukuman mati. Menurut laporan, dia sama sekali tidak tahu bahwa Adah Djaelani meminta dirinya untuk menentukan nasib sesama anggota DI 47. Tapi Djaja telah menembak dan membunuh Adah, bersama dengan beberapa anak buahnya, dan perpecahan antara kedua faksi itu tampaknya semakin tak dapat diperbaiki 48. Dari poin ini, beberapa daerah DI sudah memiliki yang struktur rangkap, Fillah dan Fisabilillah: hanya Fisabilillah saja yang telah menghasilkan para pelaku jihad kekerasan.
Adah mengatakan kepada anggota jama'ahnya bahwa Daud Beureueh, setelah berada di bawah tahanan rumah, telah memberinya mandat untuk menjadi imam. Dia mengatakan bahwa Gaos Taufik telah memberinya surat dari Daud Beureueh untuk kedudukan ini. Saat itu Gaos Taufik sedang berada dalam penjara dan tidak mampu meluruskan cerita itu. Tapi setelah dibebaskan, Gaos Taufik mengatakan bahwa surat yang disampaikan kepada Adah Djaelani dari Daud Beureueh adalah salinan dari satu buah surat yang menunjuk Gaos sebagai komandan militer. Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Adah 49.
Setelah pengangkatan Adah, elit DI Jawa Barat tampak kembali memegang kendali dengan kuat, dan beberapa komandan senior di bawah Kartosoewirjo dijadikan anggota Dewan Imamah. Selain Adah Djaelani, para komandan itu termasuk Aceng Kurnia, Ules Sudjai dan Tahmid Kartosoewirjo. Seorang anggota non-Jawa Barat adalah Achmad Hussein dari Kudus.
Tetapi Tengah dan Jawa Timur jauh lebih menonjol dalam DI. Karena satu hal, beberapa komandan dari Jawa Tengah yang telah berjuang dengan Kartosoewirjo kembali ke desa mereka masing-masing setelah kekalahan DI pada tahun 1962. Karena suatu hal yang lain, pertemuan Mahoni tampaknya telah mengakibatkan dorongan yang intensif bagi rekrutan baru yang sebagian besar berada di Tengah dan Jawa Timur. Achmad Hussein dari Kudus, Jawa Tengah, dan Hispran dari Surabaya, misalnya, secara resmi dibai'at masuk DI oleh Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar pada tahun 1976. Pada persidangannya tahun 1978, Hispran yang berasal dari Brebes, Jawa Tengah, dituduh perekrut untuk wilayah seluruh Jawa Timur, termasuk di Bojonegoro, Nganjuk, Sidoarjo, dan Lamongan — rumah pelaku bom Bali: Amrozi, Muchlas, dan Ali Imron 50. Dia ditangkap pada Januari 1977 pada saat sedang membai'at beberapa anggota baru di Blitar.
Adah Djaelani sebagai imam menguasai tiga komando regional yang ada. Gaos Taufik (meskipun ia berada di penjara) dan Ale A.T. dipertahankan, masing-masing sebagai kepala Sumatera dan Sulawesi ditambah Indonesia timur. Ules Sudjai digantikan Danu Muhamad Hassan sebagai kepala komando Jawa-Madura.
Sub komando yang ada juga dipertahankan, dengan dua sub komando lagi ditambahkan pada pertengahan 1970-an, yaitu: KW8, meliputi Lampung, dengan penanggung jawab Abdul Qadir Baraja, dan KW9 Jakarta metropolitan lebih besar 51.
Tapi Adah Djaelani hanya sebentar saja berkuasa sebelum ia dan sisa kepemimpinan DI ditangkap dan dituduh terlibat dalam Komando Jihad. (Bersambung)
Catatan kaki
46 Termasuk Toha Mafudz, Ules Suja'i, Tahmid Rahmat Basuki (Tahmid Kartosoewirjo); Mia Ibrahim, Ajengan Masduki, Adah Djaelani, Danu Muhamad Hasan, Haji Rais, dan Abi Karim. Dua orang yang terakhir sebagai anggota non-voting .
47 Wawancara Crisis Group, Oktober 2004.
48 Abdul Syukur, Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989 (Jakarta, 2003), hal.21. Menurut laporan lainnya, Sudjadi dibunuh atas perintah Ajengan Masduki.
49 Wawancara Crisis Group, Oktober 2004.
50 "Berkas Perkara Pimpinan Komando Jihad Jatim", Pikiran Rakyat, 2 Februari 1978.
51 KW9 akan menjadi terkenal di kalangan DI karena ajaran menyimpang Panji Gumilang alias Abu Toto, pendiri dan kepala pesantren Al-Zaytun di Indramayu. KW9 terbagi menjadi dua pada tahun 1996. Lihat Bagian VII, di bawah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar