Rabu, 23 Maret 2011

Bom Malam Natal dan JI

Oleh: Maruli Tobing, Wartawan Kompas

Malam Natal 2000 berubah menjadi malam teror. Sedikitnya 38 bom meledak di 11 kota. Sejumlah gereja porak-poranda. Darah berceceran di mana-mana. Jerit tangis ibu-ibu dan anaknya menghentikan suasana hening saat doa memuliakan Allah.

Laporan resmi menyebut sedikitnya 20 orang tewas, 35 luka berat, dan 48 cedera ringan.

Peristiwa ini mengejutkan masyarakat Indonesia maupun internasional. Rumah Allah tidak lagi dihormati, bahkan dijadikan target kekerasan.

Tragedi malam Natal sempat berubah menjadi misteri akibat lemahnya pengetahuan kita mengenai aksi terorisme. Opini publik, termasuk pejabat negara dan aparat keamanan, hanya mampu mengarah sebatas kecurigaan pada Soeharto, sisa Orde baru, atau TNI yang akrab dalam permainan intelijen.

Tapi, apakah benar demikian?

Persoalannya adalah minimnya pemahaman mengenai terorisme, teroris, dan teror. Konsep, teori, dan model yang digunakan bagi pendekatan persoalan ini masih mengacu pada tahun 1970-an. Padahal, selama kurun waktu 1970-an hingga sekarang telah terjadi perubahan drastis dalam visi, target, metode, dan bentuk-bentuk organisasi teroris.

Dalam kasus bom Natal, misalnya, pejabat tinggi negara maupun mereka yang terkait dalam masalah keamanan, membantah peristiwa ini terkait dengan jaringan teroris internasional. Sikap demikian bergeming kendati Dedi Mulyadi, veteran perang Afganistan, ditangkap polisi di Pangandaran, Jawa Barat.

Dalam pemeriksaan ia mengaku, perencana dan donatur serangan bom di Bandung, Sukabumi, dan Pangandaran adalah Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias Hambali. Untuk pertama kalinya nama Hambali muncul dan dikenal dari pengakuan Dedi.

Demikian pula ketika polisi menangkap Taufiq bin Abdul Halim (27) alias Dodi Mulia, alias Doni, alias Yudi Mulya Purnomo, alias Dani, warga Malaysia, dalam kasus pengeboman Atrium Senen, Jakarta Pusat, 1 Agustus 2001. Sama seperti Dedi, Dani ditangkap karena faktor kebetulan. Bom yang disiapkan meledak secara premature.

Dalam perspektif pejabat, aksi kekerasan dikategorikan sebagai teror jika ada kelompok mengaku bertanggung jawab. Sebab, terorisme bukan peristiwa yang lepas seperti gas di udara, tapi menkomunikasikan keinginan dan tuntutan teroris. Dalam kasus bom Natal dan rangkaian serangan bom berikutnya, tidak ada satu pun kelompok yang merilis tanggung jawab itu.

Itu sebabnya kebingungan dan keragu-raguan kerap muncul dalam setiap pernyataan pejabat, berkaitan dengan peristiwa kekerasan di Indonesia. Contohnya saja, nama Hambali baru diajukan agar dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) Interpol setelah terjadinya peristiwa 11 September di AS, atau 10 bulan setelah bom Natal.

Sebaliknya, kelompok radikal sangat memahami persoalan ini. Mereka bahkan memanfaatkannya dengan mendukung "kebingungan" itu melalui kampanye propaganda di berbagai media massa. Mereka yang bergerak di luar jalur ini segera dijadikan bulan-bulanan kritik dan cercaan, baik melalui media massa maupun unjuk rasa.

Jika dirunut ke belakang, akan makin jelas tampak bagaimana peristiwa kasat mata itu "disulap" menjadi mirip benang kusut.

***

Sebelum terjadinya serangan bom malam Natal, rangkaian ledakan bom dan granat terjadi di beberapa kota. Hanya berselang empat hari setelah bom mengguncang Plaza Hayam Wuruk, Jakarta Pusat (15/4 - 1999), misalnya, satu ledakan keras memorak-porandakan ruang perkantoran di Kompleks Masjid Istiqlal Jakarta. Bom ini disebut-sebut berdaya ledak tinggi hingga memorak-porandakan sejumlah ruangan perkantoran di situ.

Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Sedang pelakunya hingga sekarang masih misterius. Sebanyak 13 orang yang ditangkap Polri dan diproses secara hukum, akhirnya bebas oleh putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, 5 Januari 2000. Polisi menangkap mereka karena diduga terlibat dalam peledakan Plaza Hayam Wuruk, perampokan kantor cabang BCA, dan terkait dengan peledakan bom di Istiqlal. Perampokan BCA hampir bersamaan dengan peledakan di Plaza Hayam Wuruk. Lokasinya juga berdekatan.

Pada waktu itu polisi menyebut, mereka itulah pelakunya dan tergabung dalam AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara). Kelompok ini aktif melakukan latihan militer di Desa Maseng, Caringin, Kabupaten Bogor. Tapi sebaliknya, tokoh partai poltik maupun aktivis organisasi agama balik menuding Polri melakukan rekayasa.

Menurut mereka, pernyataan Polri menyudutkan agama Islam. Sebab, dalam daftar organisasi yang melakukan aksi makar, nama AMIN tidak pernah tercatat atau terdengar. Mereka juga mencurigai 13 tersangka sebagai korban salah tangkap, karena umumnya hidup melarat dan mencari nafkah dengan berjualan keripik singkong dan kerupuk. Warga seperti ini jelas tidak punya uang untuk membeli bahan peledak.

Reaksi yang sama juga terjadi ketika Polri berhasil menangkap Tazul Arifin alias Sabar (34), pelaku pembacokan Ketua PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Matori Abdul Jalil. Sedang rekannya, Tarmo alias Sarmo, tewas dikeroyok massa. Peristiwa ini terjadi di rumah Matori, Jalan Elang Emas Blok C-7/12, Kelurahan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, 5 Maret 2000, atau 11 bulan setelah pengeboman di Istiqlal.

Dalam pemeriksaan, Sabar mengaku melaksanakan perintah Zulfikar, pimpinan kelompok pengajian 12 orang. Setiap Sabtu dan Minggu, mereka melakukan pengajian di salah satu masjid di daerah Kapuk, Cengkareng. Mereka adalah anggota AMIN. Tapi, lagi-lagi media massa menyebutnya sebagai hasil imajinasi Polri.

Polri sendiri tidak terlalu menanggapi tudingan tersebut, termasuk dalam kasus-kasus berikutnya. Bahkan sebaliknya, Polri terseret arus opini yang terbentuk ketika itu. Situasi politik yang memanas mulai merembes dalam jajaran instansi penegak hukum ini. Keadaannya makin parah lagi setelah pergantian Kepala Polri Rusdiharjo. Polri malah menjadi ujung tombak para elite politik untuk mendongkel Presiden Abdurrahman Wahid.

Kalaupun kemudian Polri berhasil menangkap pelaku, lebih baik memilih jalan aman dengan menghindar menyebut nama kelompok tersangka terkait dengan agama. Tapi, di kalangan masyarakat hal ini melahirkan berbagai spekulasi.

Salah satu yang paling menonjol, terbentuknya opini bahwa dalang peristiwa peledakan bom adalah Soeharto, sisa Orde Baru, atau TNI. Akibat psikologisnya, masyarakat menjadi apatis dan maklum jika pelaku tidak tertangkap. Atau kalau tertangkap, sosoknya aneh-aneh, termasuk penjual keripik singkong.

***

Pertengahan April 2002, Polri menangkap 13 orang di Desa Saketi, Pandeglang, Provinsi Banten. Mereka aktif melakukan latihan militer di daerah itu. Polisi menyita 9 pucuk senjata api, 7 di antaranya laras panjang. Informasi mengenai kamp latihan ini diperoleh dari Dani, tersangka peledakan bom di Plaza Atrium Senen, Gereja Santa Anna di Kali Malang, dan Gereja HKBP Klender.

Identitas dan peran Dani sendiri waktu itu masih simpang-siur. Malah ada indikasi mengaitkannya dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, setelah Menteri Luar Negeri Malaysia membeberkan kepada pers setempat mengenai 10 anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) yang melarikan diri ke Indonesia, satu di antaranya Dani, barulah persoalannya menjadi jelas.

Syahrani alias Zia, salah satu di antara 13 orang yang ditangkap di Saketi, adalah warga negara Malaysia. Dani dan Syahrani adalah buronan Polisi Diraja Malaysia dengan tuduhan makar. Keduanya diancam hukuman mati. Syahrani sudah diekstradisikan ke negaranya.

Sebelumnya, atau tepatnya 15 Januari lalu, polisi Filipina menangkap Fathur Rohman Al-Ghozi (32), warga Indonesia asal Madiun (Jawa Timur). Ia dituduh sebagai anggota JI (Jemaah Islamiyah) dan terlibat serangan bom di stasiun kereta api Manila, 30 Desember 2000. Di rumahnya di kawasan Quiapo, Manila, polisi menemukan 17 pucuk senjata M-16, 1 ton bahan peledak, dan sejumlah peralatan lainnya.

Dalam sidang pengadilan, Al-Ghozi mengaku menjalankan perintah Hambali. Peristiwa serangan bom itu, sepekan setelah bom malam Natal di Indonesia, menewaskan 23 orang dan l00 orang dilarikan ke rumah sakit.

Al-Ghozi, alias Rony Asad bin Ahmad, alias Sammy Sali Jamil, tinggal di Mindanao Selatan, Filipina, sejak tahun 1995. Atau setelah usai mengikuti pendidikan agama di Pakistan dan latihan militer di Afganistan. Ia dikabarkan berulang kali masuk ke Indonesia dan ikut mendirikan AMIN.

***

Tanggal 26 Juni 2002, usai mengikuti rapat koordinasi khusus dengan gubernur, Kepala Polda, dan Kajati se-Jawa, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kepada pers, ada kelompok sipil yang mengadakan latihan militer dengan menggunakan senjata standar TNI di luar Jakarta. Ia minta pemerintah daerah meningkatkan kewaspadaan agar konflik politik di daerah tidak meluas menjadi konflik sosial.

Menko Polkam menjelaskan, informasi tersebut diperoleh dari Kepala Polda Metro Jaya dalam rapat tersebut. Tapi anehnya, setelah esoknya berita itu dimuat di halaman depan berbagai media, hari berikutnya muncul pernyataan Polri bahwa informasi yang disampaikan Menko Polkam adalah peristiwa lama.

Tanpa merinci apa yang dimaksud peristiwa lama, tapi jelas adalah penggerebekan dan penangkapan 13 orang yang dilakukan Polri di Desa Saketi, Pandeglang, pertengahan April 2002. Dalam penjelasannya pihak Polri mengatakan, tempat latihan militer itu tetap diawasi.

Ketika terjadi ledakan bom di Kuta, Bali, yang menewaskan 180 orang lebih tanggal 12 Oktober, dan kemudian diikuti pengejaran Imam Samudra, semua mata hanya tertuju pada proses pengejaran dan penangkapan. Demikian pula ketika Imam Samudra "menyanyi" membuka jaringannya, kelompok Serang, dan keterlibatan kelompok ini dalam berbagai pengeboman, dan perampokan.

Popularitas Imam Samudra jauh mengalahkan bosnya, Muklas. Ia menjadi selebriti. Pengakuannya selalu menghiasi halaman depan media massa di dalam maupun luar negeri. Bom bunuh diri yang menghebohkan, muncul dari pengakuan Imam Samudra.

Di semua kota hingga sudut-sudut pedesaan masyarakat bergerombol di depan televisi, mendengar kabar dan menyaksikan lanjutan penangkapan dan pemeriksaan Imam Samudra. Pengejarannya sendiri cukup menegangkan. Apalagi sebelum Amrozi tertangkap, Polri berulang kali salah tangkap, termasuk seorang pria kurang waras.

***

AKAN tetapi, dari semua peristiwa yang berlangsung dengan antiklimaks mirip happy ending dalam sinetron itu, tidak satu pun mempertanyakan tindak lanjut sinyal yang disampaikan Menko Polkam dalam jumpa pers Juni lalu. Padahal, dari sudut intelijen, sinyal tersebut sangat spesifik karena menyebut lokasi dan sedang berlangsungnya aktivitas, yakni kelompok Serang atau juga disebut kelompok Palem, basis jaringan Imam Samudra.

Seandainya aparat keamanan cepat merespons sinyal tersebut, akan terungkap jaringan teroris yang selama ini menghantui masyarakat. Bahkan, barangkali peristiwa bom di Kuta dapat dicegah.

Kamp itu sendiri jelas diketahui polisi terkait dengan jaringan teroris internasional. Seperti diakui Bahrul Alam dalam penggerebekan sebelumnya, anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia ikut terjaring dan diproses secara hukum. Mereka terlibat bom malam Natal, Plaza Atrium Senen, Gereja Santa Ana, dan HKBP Klender. (Sinar Harapan, 27/6-2002)

KMM dibentuk aktivis agama asal Indonesia, termasuk Hambali, dan sejumlah rekannya, alumni Afganistan asal Malaysia. Tujuannya melakukan teror dan pengumpulan dana melalui kekerasan, termasuk perampokan bank. Di Indonesia, dibentuk AMIN, yang fungsinya kurang lebih sama dengan KMM.

Tadinya tempat latihan itu berada di Desa Maseng, Kabupaten Bogor. Namun, setelah heboh pengeboman Plaza Hayam Wuruk, perampokan BCA, pengeboman Istiqlal, hingga pembacokan Matori Abdul Jalil, tempat latihan dipindahkan ke Pandeglang. Baik AMIN maupun KMM adalah sayap militer JI di masing-masing negara.

Lantas apa yang membuat Polri enggan bertindak?

Kita tidak mengatakan Indonesia telah bergeser mengikuti Pakistan. Yakni kalangan militer dan intelijen aktif mensponsori kelompok radikal dan terorisme, serta membangun jaringan internasional. Tapi, ini adalah kesalahan almarhum Presiden Zia Ul Haq dengan ambisinya membangun Front Islam Internasional.

Di Indonesia, masyarakat awam mungkin hanya akan mengatakan, ada kekuatan besar melindungi kelompok yang melakukan latihan militer itu hingga Polri takut bertindak. Seperti halnya kamp latihan militer di Poso, yang sempat dihebohkan.

Namun yang pasti, kedua kamp ini telah melahirkan banyak perakit-perakit bom andal. Maka, selama semua ini belum terungkap tuntas, setiap saat peristiwa Kuta dapat berulang kembali dan membinasakan siapa saja. *** Tokoh Indonesia, Maruli Tobing, Kompas

Sumber: http://www.tokoh-indonesia.com/berita/opini/2002/index.shtml

Related Articles:



This Related-Post-By-Category Widget by Hoctro | Jack Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar