Minggu, 01 Mei 2011

49% Pelajar Setuju Aksi Radikal

Jakarta - Pemerintah harus meninjau kembali Pendidikan Agama Islam (PAI). Survei yang digelar Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menunjukkan adanya kegagalan PAI dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan siswa sehingga tingkat persetujuan atas aksi radikal tinggi, mencapai 48,9 persen.

"Hasil penelitian ini menunjukan adanya kegagalan PAI dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan," kata Direktur Pelaksana LaKIP Ahmad Baedowi dalam perbincangan dengan detikcom di kantor LaKIP, Menara Era, Jalan Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (28/4/2011).

Seharusnya kurikulum PAI mampu mengajarkan kebersamaan dan mempersiapkan siswa hidup dalam kemajemukan. "Ini problem mendasar pengajaran PAI kita. PAI mesti diperbarui, para guru harus pula dilatih pemahaman tentang kebinekaan," lanjut Baedowi.

Berikut wawancara M Rizal dari detikcom dengan Ahmad Baedowi tentang penelitian yang menghebohkan itu:

Apa alasan melakukan penelitian tentang radikalisme di kalangan pelajar ini?

Begini, kita ingin meluruskan. Kita tidak pernah membuat riset tentang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) atau siswa dididik untuk berbuat radikal. Kementerian Agama mengatakan guru agama tidak mengajarkan radikalisme. Kita memang tidak pernah dalam penelitian kita menyebutkan guru mengajarkan radikalisme kepada murid didiknya dan memang kita tidak melakukan riset itu.

Nah apa yang dimaksudkan dengan penelitian itu tentang kecenderungan secara personal, artinya pandangan pribadi siswa dan guru PAI itu sendiri.

Kita melakukan penelitian dengan tujuan pertama untuk mengidentifikasikan kecenderungan radikalisme keagamaan di sekolah menengah. Kedua, menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kecenderungan radikalisme itu. Harapan kita dengan penelitian ini adalah bisa menyediakan informasi berbasis riset empiris bagi kebijakan dan strategi penanggulangan radikalisme.

Makanya setelah selesai melakukan penelitian sebelum ini dipublikasikan kepada masyarakat. Kita sudah memberikan upaya presentasi kepada Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), MPR, DPR, MK, Lemhanas, termasuk Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), semua sudah kita kasih data.

Memang seperti ke Kemendiknas sudah kita kirimkan surat lagi, karena ada pejabat yang khusus menangani pendidikan menengah, tapi belum ada jawaban sampai berita ini menjadi seperti ini.

Oleh karena itu kita tidak seperti lembaga survei lainnya, begitu selesai penelitian lalu dipublikasikan begitu saja, selesai. Kita ingin ada program intervensi artinya, ini menjadi bahan masukan untuk semua lembaga termasuk sekolah bagaimana meningkatkan pendidikan dan sebagainya, termasuk soal keagamaan ini.

Jadi riset kita tidak berdiri sendiri, kita ingin ada suatu langkah yang kongkret. Oleh karena itu kita ada yang keep data yang menyebut nama tokoh dan organisasi, karena kita tidak ingin ada kontradiktif dan kami tegaskan tidak ada upaya politik dari penelitian ini. Kita independen dan didanai sendiri, dan yang jelas kita menghindarkan resistensi dari sekolah-sekolah itu.

Kapan penelitian dilakukan dan siapa saja yang menjadi responden?

Penelitian ini sebenarnya sudah lama, kita mulai melakukan penelitian pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011. Termasuk melakukan survei di lapangan itu kita tempuh selama 2,5 bulan. Ini kita lakukan di 10 kota di Jabodetabek, tapi bukan tingkat Kabupaten, tapi kota (kotamadya) termasuk lima wilaya di Jakarta.

Penelitian ini dilakukan kepada 100 sekolah tingkat SMP dan 100 sekolah tingkat SMA. Penelitian ini menggunakan metode wawancara tatap-muka dengan panduan kuesioner, penarikan sampel acak. Kesalahan batas kesalahan pengambilan sampel kurang lebih 3,6 persen untuk guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan 3,1 persen untuk siswa.

Populasi yang dijadikan responden merupakan guru PAI di SMP dan SMA di Jabodetabek. Sementara untuk siswa SMP itu diambil hanya untuk kelas 8 dan 9, SMA kepada siswa di seluruh kelas yang memiliki mata pelajaran agama yang berjumlah 611.678 orang. Jumlah total populasi guru PAI yang diambil sampel adalah 2.639 orang, terdiri dari 1.639 guru PAI SMP dan 800 guru PAI SMA.

Dari jumlah populasi itu hasilnya jumlah total sampel guru yang valid ada 590 guru, di antaranya 327 guru PAI SMP dan 263 guru PAI SMA. Sementara jumlah total sampel siswa valid ada 993 siswa, antara lain 401 siswa SMP dan 592 SMA. Semua kita cek ulang dengan ketat dan melalui skrining.

Kenapa madrasah dan pesantren tidak?

Sebenarnya kita sudah melakukan penelitian, tapi soal lain. Nah, kenapa dalam riset ini kita tidak memasukan madrasah atau pesantren. Justru kita selama ini ingin mendukung Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional untuk memperhatikan masalah pendidikan sekolah umum. Karena selama ini ada cara pandang yang salah dari sebagian masyarakat terhadap dunia pesantren, terkait kasus-kasus terorisme dan itu selalu dikaitkan dengan pesantren dan Islam.

Ternyata dari hasil penelitian kita, di sekolah umum kan cukup mengagetkan cara pandangnya juga, jadi ini bukan soal pendidikan atau karena guru mengajarkan anarkis dan radikal di sekolah. Ini sikap pribadi.

Pertanyaan apa saja yang diajukan kepada responden?

Ya banyak,misalnya pandangan, sikap atau aksi yang merepresentasikan penolakan terhadap sistem politik yang saat ini berlaku di Indonesia dan berkeinginan untuk melakukan perubahan terhadap sistem politik tersebut, baik melalui cara perubahan damai maupun kekerasan. Pandangan, sikap atau aksi yang mendorong penerapan tata nilai keyakinan, moralitas atau hukum yang bersumber dari komunitas agama tertentu dengan mengesahkan penggunaan cara kekerasan dan mengabaikan norma dan prosedur hukum yang berlaku.

Juga ditanya soal kecenderungan untuk mendukung atau menyetujui pandangan dan sikap keagamaan dari orang, tokoh, kelompok atau gerakan yang berorientasi radikal. kecenderungan untuk menyetujui, serta bersedia terlibat dalam, berbagai aksi kekerasan terkait isu-isu agama, yang sering melibatkan orang atau kelompok-kelompok radikal dalam pengertian yang telah dijelaskan di atas.

Juga tindakan menangkap atau menghakimi pasangan bukan suami-istri, tindakan menyegel atau merusak tempat hiburan seperti kafe, klub malam,dan warung remang-remang, tindakan menyegel atau merusak rumah atau fasilitas keagamaan milik aliran keagamaan yang dianggap sesat atau menyimpang, tindakan menyegel atau merusak rumah ibadah agama lain yang bermasalah (dalam hal perizinan), tindakan membantu umat Islam di daerah konflik dengan senjata, tindakan pengeboman sebagai simbol perlawanan terhadap Barat, seperti yang dilakukan Amrozi, Imam Samudra dan lainnya.

Ada juga pertanyaan lainnya sebenarnya yang jawabannya positif, seperti soal kebangsaan, nilai demokrasi dan sistem politik mereka. Saya kira dengan usia siswa itu mereka cukup mengetahui ini semua.

Memang sulit untuk menanyakan semua hal kepada mereka, apalagi siswa yang kita tanyai satu per satu. Setiap orang bisa membutuhkan setengah sampai satu jam, kan kalau seusia mereka akan seneb juga ditanyai semuanya. Kadang kita harus merayu atau memberikan hadiah juga agar mau dimintai pendapatnya itu.

Kenapa muncul sikap radikalisme di kalangan siswa?

Sebenarnya dari hasil penelitian ini menunjukan adanya kegagalan PAI dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan. Artinya pemerintah harus meninjau kembali PAI, seharusnya kurikulum PAI mesti mampu mengajarkan kebersamaan dan mempersiapkan siswa hidup dalam kemajemukan. Ini problem mendasar pengajaran PAI kita. PAI mesti diperbarui, para guru harus pula dilatih pemahaman tentang kebinekaan.

Sikap dan gejala radikalisme pada siswa dan guru PAI mencerminkan corak konservatif dalam beragama. Ada yang salah dalam pengajaran dan pembelajaran agama. Pendidikan agama dan juga pendidikan lainnya di Indonesia berorientasi pada hasil, tidak pada proses. Konservatisme keagamaan dipahami sebagai pandangan atau orientasi yang cenderung menekankan dan mempertahankan pembacaan harfiah terhadap sumber ajaran agama. Akibatnya, muncul kecenderungan diskriminatif terhadap posisi wanita ketimbang pria dan aspirasi pemberlakuan hukum agama dalam konteks negara.

Dengan begitu, untuk mengikis budaya kekerasan terkait isu agama harus melibatkan upaya memperkuat sikap toleransi sekaligus mengubah cara pandang konservatif. Memang, belum ada bukti kuat apakah pembelajaran agama Islam di sekolah menengah turut menyuburkan sikap intoleran dan pandangan keagamaan konservatif. Namun, mampukah pembelajaran agama memberi kontribusi bagi upaya memperkukuh sikap toleran, dan mengubah cara pandang konservatif tersebut.

Solusi apa yang harus dilakukan untuk mengatasi ini?

Solusinya, selain kita melakukan penelitian kita juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada sekolah maupun pemerintah. Salah satunya, perlu dilakukan survei pembanding untuk melihat kecenderungan radikalisme di sekolah-sekolah non-urban atau kabupaten di kota-kota besar lainnya seperti Medan, Bandung, Surabaya, Makasar, Menado dan Denpasar. Membentuk Tim Pendidikan yang bekerja secara khusus untuk mereview dan menganalisis konsep-konsep pedagogis yang lebih ramah dan rahmah.

Mendesain (melalui workshop dan training) pendekatan lintas kurikulum (cross-curricula) terhadap guru-guru, terutama guru agama dan guru PPKN, dengan basis perubahan budaya sekolah. Membuat program pertukaran guru (teacher exchange), terutama guru agama, baik antar sekolah maupun antar kabupaten/kota.

Mengusulkan agar Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional membentuk Asosiasi Guru Agama Indonesia yang di dalamnya terdapat seluruh guru agama, untuk dan dalam rangka meningkatkan wawasan kebhinnekaan Indonesia.

Memperluas dan memperbanyak dialog antar guru agama dengan tokoh-tokoh lintas agama dalam skema workshop dan FGD di tingkat sekolah. Membuat riset tentang perlunya buku pegangan guru agama dan siswa yang lebih berorientasi pada penanaman rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Memperkenalkan manajemen konflik berbasis sekolah sebagai cara yang telah terbukti efektif dalam menciptakan lingkunganpendidikan yang memberi ruang kepada siswa yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda.

(zal/iy)

Sumber: http://us.detiknews.com/read/2011/04/28/202127/1628130/159/lakip-pemerintah-harus-tinjau-kembali-pendidikan-agama-islam?nd992203605

Catatan SCN:

Ternyata ini sebabnya mengapa para pembom bunuh diri dalam beberapa kasus bom bunuh diri di Indonesia adalah para remaja. Ideologi terorisme mungkin telah menyusup masuk ke dalam materi PAI (Pendidikan Agama Islam) sehingga mengakibatkan fenomena memprihatinkan itu.

Related Articles:



This Related-Post-By-Category Widget by Hoctro | Jack Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar