JAKARTA -- Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri kembali menunjukkan prestasi membanggakan. Kemarin, Rabu 9 Maret, personel Densus 88 berhasil menembak mati seorang tokoh teroris yang diduga sebagai Dulmatin, di Pamulang, Tangerang, Banten.
Saat tertembak di warnet Multiplus Jl Siliwangi Pamulang, tokoh yang diburu sejak Minggu 7 Maret lalu itu menggunakan nama samaran Yahya Ibrahim alias Muktamar.
Jejak Yahya yang menjadi otak utama pengiriman kader dan logistik latihan teroris di Aceh sempat terendus di Pandeglang sehari sebelum operasi di Pamulang. "Dia biang kerok yang mengirim orang ke Aceh," ungkap Kepala Densus 88 Mabes Polri, Brigjen Pol Tito Karnavian di Jakarta, Rabu 9 Maret.
Apakah benar Yahya merupakan samaran Dulmatin? "Yang jelas, dia (Yahya) tokoh besar dan punya nama besar (di kalangan kelompok militan)," kata alumnus Akpol 1987 itu.
Penggerebekan Yahya itu dimulai sejak Selasa subuh hari. Beberapa personel pendahulu dari Subden Intelijen Densus 88 Mabes Polri sudah membuntuti Yahya dari Pandeglang. Sebelum menuju warnet Multiplus, Yahya sempat mampir di rumah jalan Setiabudi nomor 15.
Setelah Yahya masuk ke Multiplus, tim pendobrak merangsek ke dalam. Manajer warnet Rinda Diana, 31, mengatakan saat penggerebekan sekitar pukul 11.10 WIB, tiga polisi lengkap dengan penutup wajah dilengkapi senjata laras panjang masuk dan menyuruh untuk tiarap semua yang ada di warnet. "Tiarap semua, ada teroris," kata Rinda menirukan personel Densus itu.
Setelah itu, Rinda mendengar tiga kali letusan. "Seperti petasan, saya tidak berani naik ke lantai dua," kata perempuan berjilbab biru itu. Dulmatin alias Yahya menggunakan bilik nomor sembilan dari 10 bilik yang tersedia.
Menurut Kadivhumas Mabes Polri, Irjen Pol Edward Aritonang, saat hendak diringkus Yahya melawan. "Dia menembak satu kali dengan revolver berisi enam peluru," katanya. Karena terancam keselamatannya, petugas melumpuhkan Yahya dengan menembak di perut dan paha.
Bekas tembakan dan selongsong peluru ditemukan di tembok lantai dua. Revolver yang digunakan Yahya berjenis Colt berukuran kecil. Revolver itu dipegang dengan tangan kanan.
Tim identifikasi dari Puslabfor Mabes Polri dan Inafis (Indonesia Automatic Fingerprints Identification System) langsung mengidentifikasi jenazah. Selain menggunakan data pembanding sidik jari dan mengumpulkan sisa lapisan kulit dan rambut, tim juga mengambil data di komputer yang sedang digunakan Yahya.
Informasi yang dihimpun Fajar dari berbagai sumber, sesaat sebelum tewas ditembak, Yahya sempat chatting (berkomunikasi dengan media internet) dengan seseorang berinisial Abu Zakaria. Mereka sempat menyinggung dana operasi Aceh.
"Kita akan kirim madu lagi ke Mekah, antum punya stok berapa," tulis Yahya sebelum meninggal sebagaimana ditirukan sumber Fajar. Madu diduga kode untuk amunisi atau peluru dan Mekah adalah kode untuk Aceh yang juga sering disebut Serambi Mekah.
Saat ini, Abu Zakaria yang sedang berkomunikasi itu masih diburu polisi. Abu Zakaria ini diduga kuat adalah salah satu donatur yang mengirimkan suplai dana. "Dia bukan orang asing, orang Indonesia, kami duga di Jawa Tengah," kata sumber Fajar. Tadi malam pukul 21.00 WIB, satu tim Subden Intelijen 88 telah berada di kota itu.
Penggerebekan Yahya juga melibatkan saksi-saksi mata di sekitar lokasi. Di antaranya sepasang suami istri yang kebetulan sang istri sedang potong rambut di dekat Multiplus. Mereka ikut diinterogasi karena si lelaki ikut berada di ruangan lantai dua Multiplus. Statusnya adalah saksi.
Setelah melumpuhkan Yahya, tim Densus 88 mengejar dua orang pengawalnya ke rumah dr Fauzi di jalan Dr Setiabudi, Gang Asem, RT 03/05, Pamulang Barat, sekitar satu kilometer dari Multiplus. "Mereka berinisial R dan H. Mereka juga melawan petugas," kata Kadivhumas Edward Aritonang.
Menurut saksi mata warga setempat, Ade Setiawan, 25, dia melihat kedua pelaku yang membawa tas hitam, jatuh dari motor Suzuki Thundernya. Lalu saat ingin ditangkap, pria yang mengenakan kaos hitam, celana perempat dan menggunakan sendal jepit merogoh pistol dari kantong belakang.
Sementara yang dibonceng meraih sesuatu dari dalam tas. "Yang kita takutkan itu tas isinya bom dan meledak," katanya. Setelah tersangka tewas, tim Gegana dengan mengenakan pakaian tertutup dan helm tertutup berusaha menyisir lokasi dekat kedua jenazah. Petugas juga menarik tas milik pelaku dengan tali.
Petugas Puslabfor Mabes Polri yang juga datang kelokasi kejadian melakukan penyidikan di lokasi tempat kejadian perkara. Jenazah pelaku kemudian dievakuasi ke RS Polri Kramat Jati untuk di visum.
Sementara petugas gabungan juga terus menjaga ketat dan memberikan tanda garis polisi di dua lokasi kejadian karena warga ingin sekali melihat kejadian itu dari jarak dekat.
Setelah itu, lima orang petugas Densus 88 masuk ke rumah berlantai dua yang berpagar warna cokelat itu dengan daun pintu yang sudah terbuka, sedang plafon juga hancur. Beberapa petugas yang menyisir seisi rumah juga tampak menenteng laptop, berbagai CD dan dua kantung plastik berisi buku-buku.
Namun Edward Ariotonang memastikan tidak ditemukan senjata api maupun amunisi dan bahan peledak di dalam rumah tersebut. "Yang jelas mereka ini (para teroris yang tertangkap dan mati) merupakan pemasok senjata dan pemasok dana para teroris," tegasnya.
Dua orang pria ditangkap di rumah ini. Kedua pria itu, DR alias H dan SB alias I, saat digiring keluar rumah hanya mengenakan celana pendek tapa berbaju.
Warga sekitar mengatakan kalau rumah itu milik pria beranak tiga bernama dr Fauzi yang sering menggelar pengajian pada setiap hari Jumat. "Bisa 50-an orang, rata-rata berjubah dan berjenggot lebat, dia muridnya Abu Jibril," kata Zaini, ketua RT setempat.
Dia mengatakan bahwa dr Fauzi dan istrinya bersama ketiga anaknya, sudah diamankan di suatu tempat oleh jajaran Densus 88 Mabes Polri.
Secara terpisah, Abu Jibril, ayah Muhammad Jibril (tersangka peledakan JW Marriott 2009) membenarkan jika dr Fauzi adalah jemaah pengajiannya. "Dia sering datang tiap hari. Tapi aktivitas di luar pengajian, saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak mengajarkan terorisme," katanya.
Teroris USD 10 Juta
Kabar kematian Dulmatin yang saat tertembak menggunakan sejumlah inisial, jelas cukup mengejutkan. Maklum, sebelumnya teroris yang kepalanya dihargai senilai USD 10 juta (Rp 9,2 miliar) oleh pemerintah AS tersebut dikabarkan tertembak tiga kali.
Kabar kematian tersebut dipastikan oleh sebuah sumber kuat di kepolisian. "Sudah A1 (tepercaya, red) itu Dulmatin. Tes DNA-nya memang belum keluar, tapi kami yakin itu Dulmatin dari ciri-ciri fisiknya," ucap sumber tersebut. Dia juga menuturkan perempuan yang ikut tertembak adalah istri Dulmatin dari Pekalongan, Ummu Aisah.
Pada Januari 2005 lalu, militer Filipina merilis kabar Dulmatin tewas dalam sebuah serangan udara. Namun, kabar tersebut tak bisa dikonfirmasi. Pada Agustus 2006, tentara Filipina merilis kabar serupa. Lagi-lagi tak bisa dikonfirmasi kebenarannya. Kemudian pada 16 Januari 2007, lagi-lagi dikabarkan Dulmatin tertembak di Jolo, Basilan.
Kali ini kabar itu tampaknya akurat. "Dia (Dulmatin, red) tidak mati, tapi tertembak dan sempat tertangkap. Fotonya ada," kata sebuah sumber di kepolisian.
Namun, tidak tahu bagaimana ceritanya, Dulmatin tiba-tiba lepas. Diduga kuat, ini merupakan bagian dari pertukaran tawanan antara kelompok militan dengan pemerintah. Di Filipina memang kerap terjadi seperti itu. Sejumlah militan Indonesia pun pernah mengalami hal serupa. Tertangkap, namun kemudian dibebaskan oleh MILF (Moro Islamic Liberation Front).
"Karier" Dulmatin di dunia militan memang cukup panjang. Dia terlahir pada 6 Juni 1970 di Petarukan, Pemalang dengan nama Joko Pitono. Anak keempat dari lima bersaudara tersebut lulus SMA pada 1992 dan merantau ke Malaysia. Tiga tahun kemudian dia pulang, menikah dengan Ummu Aisah, dan berganti nama menjadi Asmar Usman.
Di Malaysia inilah, awal persinggungannya dengan kelompok militan. Berangkat ke Afghanistan, dan sejak awal sudah bergabung dengan faksi Ali Ghufron dan Hambali di Jamaah Islamiyyah. Dia dipercaya terlibat dalam sejumlah serangkaian pemboman gereja antara 1999-2002.
Termasuk salah satu otak Bom Bali I pada 2002. Dia mempunyai banyak nama alias, yakni Joko Pitoyo, Abdul Matin, Muktamar, Djoko, dan Noval.
Selanjutnya, aktif di Poso, sebelum akhirnya Dulmatin kabur ke Mindanao dan menjadi instruktur di Kamp Hudaibiyah. Di Filipina dia dikenal dengan nama Zaid Ali. Setelah pemerintah Filipina melancarkan all out war, MILF terdesak, dan begitu pula militan Indonesia.
Sejumlah pentolan JI asal Indonesia seperti Dulmatin, Umar Patek, dan Ali Fauzi kemudian kabur ke arah daerah rawa-rawa di SK Pendaton. Di sana di tengah rawa-rawa, sekitar 20 orang militan Indonesia membangun sebuah kamp sendiri. "Tapi, kemudian berkurang satu per satu. Saya sendiri kini tak tahu bagaimana kondisi kamp itu sekarang," kata Ali Fauzi.
Beberapa saat kemudian, Dulmatin kabarnya beralih ke arah Basilan. Di sana, kabarnya Dulmatin bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf, sebuah kelompok militan dengan visi yang condong ke Al-Qaedah. Sejak saat itulah, kabar pastinya tak pernah diketahui. "Terakhir ya 2007 itu," tambahnya.
Sumber lain di kepolisian menyebutkan kembalinya Dulmatin ke Indonesia tak pernah diketahui secara pasti. Namun, yang jelas, keberadaannya sudah terendus sejak pemboman Marriott II pada 2009 lalu. "Memang masih ada Noordin Mohd Top, tapi keberadaan Dulmatin mulai terasa," ucapnya.
Rupanya, Dulmatin memang benar-benar kembali ke Indonesia, dan menyusun kembali kekuatan. "Kami memastikan Dulmatin bersama satu nama lagi yang masih buron (berinisial Mt) adalah otak kelompok yang kini berlatih di Aceh," tandasnya. (jpnn)
Sumber: http://metronews.fajar.co.id/read/85057/10/index.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar