DAUR ULANG MILITAN-MILITAN DI INDONESIA: DARUL ISLAM DAN PEMBOMAN AUSTRALIA
Oleh: International Crisis Group
Diterjemahkan oleh StuyCycle.NET dari Asia Report N°92 - 22 Februari 2005
Untuk koleksi Perpustakaan Online StudyCycle.NET
RINGKASAN EKSEKUTIF
Tidak mungkin ada pemahaman mengenai jihadisme di Indonesia tanpa memahami gerakan Darul Islam (DI) dan upaya-upayanya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Selama 55 tahun terakhir, gerakan itu telah menghasilkan kelompok-kelompok sempalan dan cabang-cabang yang berkisar dari Jemaah Islamiyah (JI) sampai kepada kelompok-kelompok keagamaan non-kekerasan. Setiap kali generasi tua tampak di ambang jadi tidak relevan, generasi muda baru yang militant yang diilhami oleh sejarah DI dan mistik dari negara Islam muncul untuk memberi gerakan itu sebuah kesempatan baru untuk terus hidup. Jika pola yang diuraikan dalam laporan ini terus bertahan, maka Indonesia tidak akan mampu membasmi JI atau mitra para pelaku jihad itu, bahkan jika Indonesia menangkap setiap anggota komando pusat. Tetapi dengan lebih memperhatikan beberapa langkah kunci Indonesia seharusnya dapat menahan mereka.
Gerakan DI yang awalnya merupakan pemberontakan-pemberontakan yang terpisah-pisah di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh pada dekade 1950-an sekarang menjadi suatu jaringan kontak pribadi yang sangat longgar tapi bertahan lama yang meluas ke sebagian besar pulau-pulau besar di Indonesia. Pemboman September 2004 di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta menunjukkan bagaimana beberapa kontak tersebut dapat dibawa masuk ke dalam permainan.
Dalam hitungan hari setelah ledakan, polisi Indonesia menetapkan bahwa dua anggota JI Malaysia yang telah dikenali, yaitu Azhari Husin dan Noordin Mohammad Top, ikut terlibat. Tapi hal itu menjadi jelas bahwa mereka bekerja dalam suatu kemitraan dengan sebuah cabang DI yang disebut Ring Banten, yang beroperasi di benteng DI lama di Jawa Barat. Tiga pemuda yang direkrut sebagai pembom bunuh diri dari Ring Banten (termasuk satu yang tewas dalam pemboman September) ternyata mempunyai ayah di DI.
Penelitian sejarah DI dapat memberi kita petunjuk untuk memahami JI:
- Cara Darul Islam bertahan dan beradaptasi setelah kekalahannya dari tentara Indonesia pada dekade 1960-an dan penangkapan hampir seluruh pemimpinnya pada kurun waktu 1977-1982 menunjukkan bahwa JI mungkin juga mampu bertahan hidup setelah penangkapan dan penahanan banyak di antara pemimpin puncaknya.
- Penjara sering meningkatkan kepercayaan anggota DI dan jarang berfungsi memperlemah komitmen mereka terhadap gerakan tersebut; mereka bahkan sering muncul dari pemenjaraan yang lama sama enerjiknya seperti ketika mereka masuk dan mereka dapat direkrut kembali untuk melakukan operasi baru.
- Perpecahan dan perebutan kekuasaan di tingkat atas seringkali memiliki dampak kecil pada kerja sama di tingkat bawah.
- Rintangan terhadap pelaksanaan operasi tertentu adalah sedikit pencegahan bagi mereka yang berkomitmen untuk merencanakan serangan. Dengan slogan operasi “Menang atau Syahid”, berjihad melawan rintangan yang tak dapat diatasi memiliki daya tariknya tersendiri.
- Kegagalan para pemimpin tua untuk merespon peristiwa politik tertentu dapat mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan militan baru yang dipimpin oleh anggota-anggota muda yang kemarahannya dipicu oleh kelambanan para senior mereka.
- Ikatan-ikatan yang baru ditempa dan persahabatan yang langgeng dibuat selama program-program pelatihan militer.
Semua hal ini mengkhawatirkan, namun ada juga kabar baiknya. Proses daur ulang anggota-anggota DI yang lama ke dalam JI atau ke dalam kemitraan dengan JI menunjukkan bahwa dasar rekruitmen para pelaku jihad tidak dapat berkembang secara signifikan, dan bahwa sulit bagi mereka untuk bergerak sangat jauh melampaui orang-orang tua DI atau para konstituen JI yang ada. Bahkan di kubu DI di mana prajurit untuk pemboman kedutaan Australia direkrut, sangatlah sulit untuk menemukan pemuda yang bersedia untuk mengikuti kombinasi antara praktik keagamaan yang sangat ketat dan interpretasi jihad yang ekstrim. Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa perang di Irak, misalnya, akan menghasilkan lonjakan tiba-tiba anggota baru JI, meskipun ketidakpopuleran perang itu dan juga sentimen anti-Amerika yang telah dipicunya itu akan terus mempersulit inisiatif-inisiatif kontra- teror dalam negeri.
Variabel yang paling penting yang akan menentukan apakah terdapat jihadisme atau tidak itu meliputi:
- apakah ketegangan komunal di dalam negeri Indonesia dapat dikelola dengan baik;
- apakah kapasitas penegakan hukum ditingkatkan;
- apakah Pemerintah Indonesia lebih serius memikirkan dampak penjara pada para pelaku jihad di dalam tahanan, dan apa yang terjadi pada mereka saat dilepaskan
- apakah kontrol yang lebih baik telah diberikan atas penjualan dan transfer senjata, amunisi, dan bahan peledak.
Semua ini berada dalam kendali pemerintah Indonesia. Variabel keempat adalah apakah muncul pusat utama pelatihan jihad internasional baru, seperti Afghanistan dulu. Tentu saja hal itu tergantung bukan hanya pada atau bahkan terutama pada tindakan pemerintah Indonesia, tetapi tergantung pada kebijakan-kebijakan komunitas internasional yang lebih luas.
Singapura/Brussels, 22 February 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar