Ketika Kedamaian di Cikeusik Terusik
KOMPAS.com — Kondisi Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, tak ubahnya perkampungan dan pedesaan lainnya. Rimbun pepohonan dan areal persawahan mudah ditemui di sepanjang jalan menuju perkampungan yang berada di wilayah Banten sisi selatan ini.
Dibutuhkan waktu sekitar lima jam dari Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, untuk menuju ke Kampung Peundeuy di Cikeusik. Adapun untuk menuju ke ibu kota Kabupaten Pandeglang, warga Peundeuy butuh waktu empat jam dengan menggunakan kendaraan melintasi jarak puluhan kilometer, lengkap dengan lubang-lubang di sepanjang ruas jalan.
Dengan kondisinya yang relatif terpelosok seperti itu, wajar apabila suasana tenang mendominasi permukiman warga. Namun, pada Minggu (6/2/2011) pagi, suasana Kampung Peundeuy memanas menyusul terjadinya insiden kekerasan antara ribuan warga wilayah sekitar dan jemaah Ahmadiyah yang berada di rumah milik Suparman.
Korban jiwa dan luka pun berjatuhan dalam peristiwa tersebut. Tak urung, insiden Minggu pagi berikut rentetan peristiwa yang mengikuti pun sekejap menjauhkan perkampungan itu dari suasana tenang yang sekian lama melingkupi Peundeuy.
Kesaksian Eka Hermawanto, Ketua Karang Taruna Peundeuy, masyarakat setempat sempat merasa tercekam pascainsiden itu. Beberapa di antaranya malah memilih mengungsi ke luar desa karena khawatir kemungkinan terjadi peristiwa susulan.
Beberapa warga Peundeuy yang ditemui menuturkan bahwa pada saat kejadian mereka hanya menonton. Ada pula penuturan bahwa saat terjadi pengejaran terhadap jemaah Ahmadiyah, ada warga setempat yang tengah memetik sayur, membiarkannya. Warga Peundeuy itu tahu bahwa jemaah tersebut sedang bersembunyi di balik tanaman dari kejaran orang-orang.
Informasi beberapa warga Peundeuy, ribuan orang yang Minggu pagi itu mendatangi rumah Suparman berasal dari luar kampung mereka. Keterangan kepolisian setempat mengonfirmasi, orang-orang tersebut bukan hanya dari satu kecamatan, melainkan banyak kecamatan di Pandeglang.
Trauma insiden Minggu pagi terbukti tidak hanya melanda penduduk di Peundeuy secara massal, tetapi juga ke tiap warga yang berdiam di rumah-rumah mereka. Kompas sempat mengunjungi rumah Aminah, ibu Suparman, pada Senin (7/2/2011). Di dalam rumah yang dindingnya belum sepenuhnya dilapisi semen itu, terlihat cucu-cucu perempuan Aminah jongkok dengan punggung menempel di dinding sambil memandangi neneknya yang menangis.
Aminah meratapi ketidakpastian keberadaan kedua anaknya, Tarno dan Roni, yang Minggu pagi berada di dalam rumah yang dikepung banyak orang. Raut muka kebingungan dan ketakutan membayang di wajah bocah-bocah perempuan yang berusia 10 tahun kurang itu.
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2011/02/09/08594767/Ketika.Kedamaian.di.Cikeusik.Terusik
***
Catatan StudyCycle.NET
Massa penyerbu yang datang berbondong-bondong dari berbagai daerah lain ke satu tempat dalam waktu yang bersamaan mengindikasikan bahwa massa penyerbu itu terorganisasi rapi.
Massa penyerbu yang mentaati komando mengindikasikan itu massa penyerbu terlatih.
Massa penyerbu yang membantai korban tanpa hati nurani, tanpa peri kemanusiaan dan dengan peri kebinatangan mengindikasikan bahwa itu adalah masa tersesat (semua interpretasi agama yang benar selalu membuat pengikutnya makin berhati nurani dan semakin manusiawi).
Polisi? Kita memang berharap banyak pada polisi sebagai pengayom warga. Tapi video itu memperlihatkan polisis mengkhianati harapan kita sebagai warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar